Chaidarabdullah’s Weblog

Posts Tagged ‘Burundi

 

       Oleh Chaidar Abdullah

        Jakarta, 27/7/96 (ANTARA) – Kerusuhan politik di Burundi yang makin panas setelah pembunuhan 300 orang Tutsi akhir pekan lalu, mengakibatkan militer mengkudeta Presiden Sylvestre Ntibantunganya dari suku Hutu, sementara ancaman kerusuhan masih menggantung.

        Pemimpin militer Burundi Pierre Buyota, dari etnik Tutsi, hari Kamis (25/7) mengambilalih kekuasaan dari Ntibantunganya, tindakan yang digambarkan Departemen Luar Negeri AS sebagai “krisis pemerintahan yang sangat parah”.

        Sebelumnya, Presiden Kamerun Paul Biya dilaporkan AFP menyeru suku Hutu dan Tutsi di Burundi agar menyelesaikan pertikaian mereka dan berusaha mewujudkan perujukan nasional.

        Biya, yang saat ini menjadi ketua Organisasi Persatuan Afrika (OAU), menyeru rakyat di negara yang terpecah pertikaian etnik itu agar berjuang mewujudkan pembangunan bangsa dan memperkokoh kekuatan hukum sejati sebagai jaminan bagi perdamaian dan keamanan semua orang, baik dari suku Hutu maupun Tutsi.

        Namun seruan pemimpin OAU tersebut tidak mendapat tanggapan positif dari militer Burundi, yang menggulingkan Ntibantunganya setelah terjadi kerusuhan di ibukota negeri itu, Bujumbura.

        Guna menghindari aksi kekerasan massa, Ntibantunganya hari Selasa (23/7) meminta perlindungan di kedutaan besar AS di Bujumbura, dan sampai sekarang masih berada di bawah perlindungan perwakilan Washington tersebut.

        Kejadian paling akhir di Burundi itu benar-benar menenggelamkan Persetujuan Arusha, yang dicapai di kota kecil Arusha di Tanzania Utara bulan Juni.

        Persetujuan tersebut mensahkan penggelaran pasukan pemelihara perdamaian dari negara-negara regional seperti Uganda, Tanzania dan Ethiopia guna menghindari pertumpahan darah lebih lanjut.

        Di Addis Ababa, Ethiopia, sekretaris jenderal OAU Salim Ahmad Salim, memperingatkan bahwa aksi kudeta di Burundi “akan dihadapi dengan kekerasan”.

        Salim, ketika memberi reaksi paling keras mengenai situasi di Burundi — sebagaimana dikutip Reuter, mengatakan negara-negara Afrika akan melakukan campurtangan militer jika keadaan makin tak terkendali di Burundi.

        Campurtangan militer Afrika itu dapat dilakukan melalui rencana perdamaian dukungan Barat, Persetujuan Arusha, atau dengan pengawasan PBB.

        Rencana Arusha tersebut mulanya diajukan sebagai misi pemelihara perdamaian guna mengakhiri kerusuhan di Burundi saat ini, yang rata-rata setiap bulan dilaporkan menewaskan 1.000 orang.

        Burundi, seperti juga tetangganya Rwanda, telah menjadi ajang pertumpahan darah antar-suku sejak presiden suku Hutu pertama di negeri itu, Melchior Ndadaye, tewas bulan Oktober 1993, selama pemberontakan gagal yang dilancarkan militer.

        Pembunuhan tersebut memicu kerusuhan antara etnik Hutu dan Tutsi, yang sejauh ini telah menewaskan lebih dari 50.000 orang. Meskipun minoritas, suku Tutsi telah menjadi kelompok yang berkuasa di negeri itu.

        Kejadian tersebut memprihatinkan tetangga-tetangga Burundi dan melahirkan rencana yang disebut Persetujuan Arusha, yang “dibidani” oleh penengah Burundi dan mantan presiden Tanzania Julius Nyerere. Namun rencana itu menghadapi ancaman setelah kelompok garis keras di Burundi menentangnya dengan keras.

        Penentangan tersebut muncul karena militer Burundi, yang didominasi Tutsi, khawatir kehadiran pasukan pemelihara perdamaian akan merusak otoritasnya, sementara kelompok Hutu menentang kehadiran pasukan Uganda — yang dipandang memiliki hubungan erat dengan militer negerinya.

        Sementara keadaan di Burundi makin tak tentu, Salim menuduh bekas presiden negeri tersebut Jean-Baptise Bagaza, dari suku Tutsi dan memiliki hubungan erat dengan militer serta kelompok pengacau, memainkan peran dalam krisis paling akhir di negara berpenduduk sekitar 5,6 juta orang tersebut.

        Bertekad membangkang?

        Meskipun Nyerere dilaporkan berusaha setiap saat untuk mencegah terulangnya kejadian di Rwanda tahun 1994, semua pihak di Burundi kelihatannya telah bertekad untuk membangkang pada seruan penahanan diri dan mengganjal upaya Nyerere.

        Militer dan pemberontak utama Hutu telah menyatakan akan menentang setiap penggelaran pasukan pemelihara perdamaian.

        Selain mengupayakan berakhirnya pembunuhan, rencana perdamaian Nyerere yang mendapat dukungan Barat juga berusaha mencegah terjadinya pengungsian besar-besaran rakyat Burundi ke negara-negara tetangganya, kejadian yang dapat merusak stabilitas di wilayah yang secara politik rentan itu.

        Seorang pejabat pemerintah Tanzania menyatakan pembunuhan paling akhir di Burundi menjadi pukulan lebih keras terhadap rencana perdamaian “buatan Afrika”, yang dijalankan Nyerere tapi sudah goyah akibat ditolak oleh pihak-pihak yang justru paling berkepentingan.

        Nyerere sebelumnya telah mengancam rakyat Burundi bahwa OAU akan menerapkan, kalau perlu dengan paksa, rencana perdamaian sekalipun tanpa persetujuan pemerintah negeri tersebut.

        Namun Presiden Kenya Daniel Arap Moi sebenarnya sudah ragu bahwa rencana itu akan membuahkan hasil.

        Mengenai keraguan Moi tersebut, seorang pejabat Tanzania dilaporkan berkata, “Mungkin Moi benar. Kelihatannya rakyat Burundi bersiap untuk membangkang rencana perdamaian Nyerere karena bagaimana prilaku brutal itu mesti dijelaskan?”

        Sementara itu, selain mengecam perebutan kekuasaan oleh militer Burundi, masyarakat internasional sampai saat ini tidak melakukan tindakan apa-apa untuk mencegah negeri tersebut terperosok lebih jauh ke kancah pertumpahan darah.

        Menurut Trevor Findlay dari Lembaga Riset Perdamaian Internasional Stockholm, yang menjadi masalah utama ialah “tak satu pun negara Barat di Dewan Keamanan PBB bersedia mengirim tentara ke ajang pembantaian Burundi“.

        “Ini adalah masalah Afrika, jadi rakyat Afrika sendiri lah yang harus menyelesaikannya!” katanya (27/07/96 10:15)

Tag:

 

 

       Oleh Chaidar Abdullah

        Jakarta, 29/7/96 (ANTARA) – Pada saat Pierre Buyoya selaku pemimpin militer Burundi menyampaikan sikap moderat, Senin, pemimpin oposisi dari etnik Hutu berikrar akan lanjutkan perjuangan, tetapi membuka pintu bagi pembicaraan gencatan senjata walau kerusuhan baru dilaporkan terjadi di negeri tersebut menyusul kudeta hari Kamis (25/7).

        Akhir pekan lalu, para pemimpin Afrika Timur dilaporkan mengakhiri pembicaraan mereka mengenai krisis di Burundi tanpa komentar apa-apa, dan pada saat yang sama suku Hutu khawatir akan menghadapi masa paling sulit dalam hidup mereka.

        Pada taklimat ketiganya yang disiarkan Reuter, Buyoya (pensiunan mayor berusia 46 tahun) berjanji akan memulihkan disiplin dalam tubuh militer dan mengatakan akan menghentikan pengusiran pengungsi Hutu dari Rwanda.

        Menurut Buyoya, pemerintahnya takkan memaksa pengungsi Hutu dari Rwanda kembali ke kampung halaman yang telah mereka tinggalkan karena takut terhadap aksi balas dendam suku Tutsi di negara tetangga Burundi itu sehubungan dengan pembantaian tahun 1994 oleh suku Hutu.

        Sementara itu, AFP melaporkan Buyoya minta dukungan dunia luar bagi tindakannya, tapi juga memperingatkan diplomat-diplomat Barat agar tidak mengizinkan anggota pemerintah terguling “menyampaikan pesan yang akan menimbulkan perpecahan”.

        Burundi telah sekitar tiga tahun dicengkeram kerusuhan etnik antara suku Hutu, yang berjumlah 85 persen dari 5,6 juta penduduk negeri tersebut, dan suku Tutsi, yang mendominasi militer. Tak kurang dari 150.000 orang telah tewas dalam berbagai bentrokan.

        Ia juga berusaha meyakinkan masyarakat internasional bahwa ia hanyalah “pemimpin sementara” sebelum pemerintah peralihan dibentuk dan semua rakyat Burundi “yang mencintai perdamaian” dapat duduk dalam pemerintah tersebut.

        Menurut laporan radio pemerintah, Buyoya belakangan bertemu dengan tokoh-tokoh suku Hutu dan Tutsi guna mendesak mereka agar tetap tenang tapi siap mematuhi seruan untuk membela negara.

        Buyoya dipandang banyak kalangan sebagai orang yang cukup moderat dalam kancah politik Burundi dan pernah menguasai negeri itu dari tahun 1987 sampai 1993, ketika ia menyerahkan kekuasaan kepada Melchior Ndadaye, orang Hutu yang terpilih dalam pemilihan umum bebas pertama di negeri itu.

        Ndadaye terbunuh dalam suatu kudeta oleh tentara setelah empat bulan berkuasa. Menurut politisi Hutu, Buyoya terlibat dalam kudeta tersebut, yang secara teknis gagal tapi diikuti oleh pembantaian 50.000 orang.

        Buyoya, yang pernah mengikuti pendidikan di Belgia, Perancis dan Jerman, dipandang tidak terlalu ekstrim seperti Kolonel Jean-Baptiste Bagaza, yang digulingkannya sebagai presiden dalam kudeta tahun 1987.

        Oposisi melunak

        Sementara itu, pemimpin oposisi dari suku Hutu, Leonard Nyangoma yang juga mantan menteri dalam negeri yang memimpin Dewan Nasional bagi Pertahanan dan Demokrasi (NCDD) menyatakan, akan menggerakkan rakyat agar menentang kudeta yang dipimpin Buyoya.

        Meskipun demikian pemimpin organisasi yang sayap militernya, Pasukan bagi Pertahanan dan Demokrasi (FDD), terus memerangi militer Burundi tersebut menyatakan bahwa ia bersedia merundingkan gencatan senjata dengan pemimpin militer tapi bukan dengan Buyoya.

        “Kami bukan mengobarkan perang demi pertempuran; kami dari dulu selalu membuka kemungkinan bagi perundingan,” katanya.

        Menurut Nyangoma, setiap perundingan mesti mencakup peran militer, paramiliter dan polisi serta sistem peradilan, dan pengungsi serta orang-orang yang telah kehilangan tempat tinggal.

        “Pemulihan keabsahan undang-undang tak dapat diperdebatkan,” katanya.

        Pada saat yang sama harapan bagi demokrasi di Burundi disebut-sebut “belum pudar”. Menurut laporan, banyak pengulas Eropa juga menahan diri dan tidak mengutuk aksi kudeta Buyoya dan menyampaikan nada yang lebih lunak dibandingkan dengan yang disampaikan para pemimpin Afrika.

        Kecaman masyarakat internasional terhadap tindakan Buyoya belakangan malah kelihatan pudar, dan berganti dengan sikap “menunggu apa yang akan terjadi”. Sementara itu, Buyoya diduga akan mengulangi tindakannya setelah menggulingkan Bagaza tahun 1987.

        Pudarnya sikap keras masyarakat internasional tersebut terjadi setelah tersiar laporan dari Washington bahwa diplomat-diplomat AS mengadakan pembicaraan dengan Buyoya dan bukan mengucilkannya sebagaimana dijanjikan beberapa saat sebelumnya.

        Banyak pengulas dilaporkan juga terperangah dengan sikap reaksi pertama yang disampaikan secara hati-hati oleh Belgia, bekas penguasa kolonial di Burundi, terhadap kudeta di Bujumbura.

        Belgia dilaporkan hanya berkomentar bahwa Brussel menyesal pergolakan etnik di Burundi tak dapat diselesaikan melalui saluran perdamaian.

        Kekhawatiran

        Pada saat sikap dunia mulai berubah, mantan Presiden Tanzania Julius Nyerere –yang mengemban tugas untuk melaksanakan Persetujuan Arusha– menghendaki diambilnya sikap keras.

        Bahkan, kalau mungkin, penjatuhan sanksi guna melumpuhkan pemimpin militer Burundi sebelum para pemimpin Afrika Timur mengakhiri pertemuan mereka. Sementara itu, meskipun Buyoya menyatakan takkan mengusir mereka, para pengungsi Hutu khawatir Bujumbura akan memulangkan mereka ke Rwanda.

        Burundi sejak tahun 1994, telah menjadi tempat mengungsi puluhan ribu orang Hutu Rwanda yang khawatir terhadap pembantaian oleh suku Tutsi di negeri mereka.

        Banyak pengungsi tersebut mengkhawatirkan aksi balas dendam suku Tutsi jika mereka pulang, sementara itu Bujumbura sebelumnya menuduh mereka bersekongkol dengan pemberontak Burundi.

        Sebanyak 15.000 orang Hutu telah dipaksa pulang ke Rwanda oleh pemerintah Sylvestre Ntibantunganya, yang digulingkan Buyoya dalam kudeta hari Kamis pekan lalu.

        Kekhawatiran juga disampaikan oleh Nyerere, yang mendapat tugas dari Organisasi Persatuan Afrika (OAU) untuk menyelesaikan krisis Burundi melalui Persetujuan Arusha, justru mengenai nasib Burundi.

        Ia mengatakan, tak tertutup kemungkinan Burundi akan menghadapi keadaan yang sama dengan Rwanda, tempat pembantaian sampai satu juta orang pada tahun 1994.

        Alasannya, Burundi memiliki susunan etnik yang sama dengan tetangga Afrika Tengah-nya. Pembantaian terjadi di Rwanda setelah suku Tutsi mengambilalih kekuasaan dan menyerang suku Hutu.

        Persetujuan Arusha mengusulkan pengiriman tentara dari Uganda, Tanzania dan Ethiopia ke Burundi guna memulihkan kedamaian. Bahkan, kalau perlu tanpa persetujuan Bujumbura. Namun, baik Buyoya maupun Ntibantunganya telah menentang campur tangan asing. Rencana itu dicapai di Arusha, Tanzania, tanggal 25 Juni.

        Penolakan pihak-pihak di Burundi tersebut berpangkal pada dua pemikiran yang berbeda. Etnik minoritas Tutsi, yang menguasai militer, khawatir akan kehilangan posisi yang telah lama dikuasainya. Sementara itu, suku Hutu khawatir kehadiran pasukan luas akan membuat mereka kehilangan kesempatan untuk menang melawan suku Tutsi.

        Banyak pengulas berpendapat militer Burundi, yang berkekuatan 20.000 personil, dapat dengan mudah dikalahkan oleh kekuatan gabungan tetangga-tetangganya yang jauh lebih tangguh dan dapat memotong jalur bantuan.

        Namun, pengiriman pasukan ke Burundi juga memiliki risiko tak ringan, biaya.

        Jika tetangga-tetangga Burundi membentuk pasukan gabungan, maka biaya yang diperlukan diduga akan mencapai jutaan dolar AS per hari, tanggung jawab yang tak mampu diemban negara-negara Afrika sedangkan upaya pengumpulan dana dari negara-negara donor sulit diharapkan.

        Selain itu, Burundi masih ada memiliki risiko lain, yaitu kemungkinan jatuhnya korban jiwa jika terjadi “pukulan balik” dari pihak-pihak yang bertikai di negerinya.

        Sejauh ini, Eropa dan Amerika Serikat tidak memberi isyarat akan bersedia mendanai operasi militer penuh risiko sedangkan tujuannya tak jelas oleh negara-negara Afrika di Burundi.

        Tentara Afrika juga dilaporkan kurang memperoleh pelatihan dalam hal kerjasama dan tidak memiliki persenjataan canggih. Contoh yang ada ialah pasukan Afrika Barat di Liberia sejak tahun 1990 tak mampu mewujudkan perdamaian di negeri tersebut. (29/07/96 21:52)

Tag:

        Oleh Chaidar Abdullah

        Jakarta, 11/8 (ANTARA) – Rwanda hari Jumat (9/7) menambah negara yang menjatuhkan sanksi atas Bujumbura, dengan memutuskan hubungan dengan negara tanpa laut itu sehingga makin besar-lah ancaman yang dapat melumpuhkan ekonomi Burundi.

        Rwanda, yang pemerintahnya juga didominasi oleh suku Tutsi, menyatakan akan memutuskan hubungan darat dan udara dengan Burundi, sementara perusahaan penerbangan Air France menambah berat pukulan dengan membatalkan semua penerbangan ke negara Afrika tengah tersebut.

        Dua hari sebelumnya, tujuh negara yang bertemu di kota Arusha, Tanzania Utara, — Tanzania, Zaire, Rwanda, Kenya, Ethiopia, Uganda, dan Kamerun (ketua Organisasi Persatuan Afrikat, OAU, saat ini) — memutuskan untuk melakukan “tekanan maksimum”, termasuk pemberlakuan sanksi ekonomi, atas Burundi.

        Afrika Selatan, kendati tidak menghadiri pertemuan tersebut, telah menyatakan akan mendukung tindakan negara-negara tetangga Burundi itu.

        Para pemimpin Afrika yang hadir di Arusha bermaksud menekan pemimpin militer Burundi, Mayor Pierre Buyoya, agar mengembalikan pemerintahan kepada sipil meskipun mereka tidak menyebutkan sanksi ekonomi bagaimana yang akan diterapkan.

        Setiap negara memiliki kebebasan untuk menentukan sanksi yang akan dijatuhkan, demikian keterangan beberapa sumber konferensi tersebut kepada AFP.

        Di Bujumbura, Buyoya beberapakali dilaporkan mengatakan bahwa Burundi akan dapat bertahan menghadapi sanksi ekonomi negara-negara Afrika.

        Namun para pemimpin regional itu tak terlihat berusaha menghidupkan kembali rencana untuk mengirim pasukan pemelihara perdamaian Afrika, usul yang disepakati sebelum penggulingan Presiden Syltre Ntibantunganya oleh Buyoya tanggal 25 Juli.

        Usul pengiriman pasukan Afrika guna memulihkan keamanan di Burundi sebelumnya telah ditolak oleh militer, yang didominasi suku Tutsi, dan pemberontak Hutu, walaupun mendapat dukungan Ntibantunganya.

        Militer Burundi khawatir pasukan tersebut akan merusak citranya, sementara pemberontak Hutu tak ingin pasukan itu bergabung dengan militer Bujumbura.

        Kecaman yang disampaikan para pemimpin regional tersebut selama ini tertuju pada aksi kudeta dan bukan pada Buyoya, orang yang pernah menghidupkan kembali demokrasi di Burundi.

        Buyoya menyeru penyelenggaraan pemilihan umum tahun 1991 dan mencalonkan diri tapi kalah oleh Melchior Ndadaye, yang dibunuh empat bulan kemudian oleh tentara dari suku Tutsi. Sejak itu Burundi tenggelam dalam pertumpahan darah.

        Mudah tercekik

        Jika para pemimpin Afrika benar-benar melakukan “blokade ekonomi total” mereka, Burundi — yang tidak memiliki laut — akan mudah menjadi korban dan ekonominya, yang bergantung pada hasil teh serta kopi, benar-benar akan berantakan.

        Burundi diapit oleh Zaire, Tanzania, dan Rwanda, serta bergantung pada pelabuhan-pelabuhan Tanzania dan Kenya — Dar Es Salam dan Mombasa — sebagai jalan ekspor-impornya melalui laut.

        Namun banyak pengulas, sebagaimana dilaporkan AFP dan Reuter, memperkirakan tak tertutup kemungkinan terjadinya kebocoran dalam penerapan sanksi tersebut.

        Sebagian impor Burundi yang selama ini ditangani oleh pengusaha-pengusaha Zaire dan Rwanda dapat disalurkan melalui jalur perbatasan yang dipenuhi hutan lebat. Akan tetapi, jalur tersebut dilaporkan sulit digunakan untuk menyelundupkan bensin dan bahan bakar diesel ke Burundi.

        Zaire terletak di perbatasan barat Burundi dan tak seorang pun, termasuk Presiden Zaire Mobutu Sese Seko, dilaporkan dapat sepenuhnya mengawasi apa yang terjadi di wilayah itu.

        Mobutu menentang rejim baru Tutsi di Bujumbura tapi para pengusaha Zaire diduga akan berusaha sedapat mungkin untuk memasok Burundi dan menyalurkan ekspor Burundi selama mereka dapat mengeruk keuntungan.

        Jalur pemasokan lain ke Burundi dilaporkan dapat dilaksanakan melalui danau Tanganyika di Zambia, walaupun jalur itu lebih jauh.

        Seorang importir asing mengatakan bahwa jika jalur ekspor-impor Tanzania benar-benar ditutup, Burundi akan menghadapi masalah besar karen jalur pemasokan melalui Zambia atau Zaire bukan tak mungkin digunakan tapi biayanya sangat mahal.

        Burundi, sebelum mendapat sanksi, telah menghadapi masalah ekonomi besar. Perang saudara telah merenggut puluhan ribu korban dan banyak prasarana rusak serta disabotase.

        Pertempuran juga telah menghalangi penduduk desa menanam dan menuai kopi serta teh.

        Selain itu pembelian senjata baru dan pemasokan lain buat militer serta gaji buat tak kurang dari 5.000 orang yang baru direkrut sebagai personil militer telah mengikis simpanan negeri tersebut di luar negeri.

        Bujumbura juga untuk pertamakali gagal membayar utang luar negerinya karena pemerintah harus mengeluarkan gaji sebesar 10 juta dolar AS perbulan.

        Kini, pada saat berada dalam keadaan morat-marit seperti itu, Burundi harus menanggung blokade terhadap kegiatan ekspor-impornya sehingga dapat dipastikan keadaan di negeri tersebut akan bertambah parah.

        Meskipun demikian, semua sanksi yang telah disepakati para pemimpin Afrika tersebut masih memerlukan dukungan pengesahan dari PBB, yang tidak memberi isyarat akan memberi dukungan, dan OAU.

        Disahkan atau tidak oleh PBB, blokade total terhadap Burundi akan membuat negeri itu terjerat, dan selama ini rakyat lah yang menjadi korban pertama setiap sanksi atau embargo.

        Para pemimpin Afrika boleh saja berkilah mereka ingin menekan rejim militer di Bujumbura agar menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah sipil, tapi mereka tetap saja menghukum seluruh rakyat negeri itu, yang menurut Bank Dunia memiliki penghasilan hanya 150 dolar AS pertahun. (10/08/96 18:33)

Tag:

        Oleh Chaidar Abdullah

        Jakarta, 29/3 (ANTARA) – Burundi, yang pemerintahnya memang sudah terpecah pada saat perjuangan guna mengatasi arus baru kerusuhan etknik, menghadapi krisis politik kian besar, sementara semakin banyak orang asing meninggalkan negeri tersebut.

        Sampai saat ini masyarakat internasional kelihatannya memiliki pendapat yang sama bahwa penyelesaian kerusuhan di negeri tersebut tak perlu melibatkan militer dari luar negeri.

        Dewan Keamanan PBB dilaporkan juga takkan menyetujui campur tangan PBB dalam kerusuhan di Burundi kendati Sekretaris Jenderal PBB Boutros Boutros-Ghali telah memintanya mempersiapkan diri bagi kemungkinan seperti itu.

        Pemerintah Perancis –melalui Menteri Kooperasi Bernard Debre– dan Organisasi Persatuan Afrika (OAU) mengupayakan penyelesaian tanpa campur tangan militer.

        Dalam pertumpahan darah yang terjadi di tetangga Burundi, Rwanda, Perancis mengirim tentaranya dengan tujuan membuat kantong keamanan di bagian barat laut negeri itu.

        Di dalam negeri Burundi sendiri, terjadi perbedaan pendapat; Presiden Sylvester Ntibantunganya mendukung campur tangan asing, sedangkan Perdana Menteri Antoine Nduwayo menentangnya.

        Presiden Burundi sebenarnya ingin memberitahu Perancis bahwa pembunuhan 150 orang Hutu di ibukota negeri tersebut, Bujumbura, pada penghujung bulan Maret ini merupakan awal dari pembantaian besar-besaran di negerinya.

        Partai Nduwayo –Uni bagi Kemajuan Nasional (Uprona), yang didominasi suku Tutsi– telah mendesak para mitranya dalam pemerintahan agar mengumumkan keadaan darurat.

        Akibat silang pendapat dalam tubuhnya, pemerintah Burundi seringkali kelihatan tidak memiliki arah dan tak sanggup menemukan cara menghentikan kerusuhan.

        Keputusan DK

        Di New York, delegasi AS dan Perancis dilaporkan bertemu sebelum sidang ke-15 anggota Dewan Keamanan guna membahas deklarasi yang akan dilakukan masyarakat internasional di Burundi tanpa menggunakan kekuatan militer.

        Meskipun demikian, Dewan Keamanan telah memperingatkan suku Hutu dan Tutsi bahwa kedua suku tersebut akan dinyatakan bertanggungjawab atas pelanggaran hukum kemanusiaan internasional. Kerusuhan paling akhir di Burundi telah menewaskan tak kurang dari 500 orang dan mengakibatkan 23.000 orang mengungsi ke Zaire.

        Dewan Keamanan juga menyokong pengiriman tenaga ahli ke negeri itu, keputusan serupa juga diambil OAU, guna membantu pemerintah mengakhiri kerusuhan etnik di Burundi.

        OAU memutuskan dalam pertemuan di Kairo untuk mengirim tim yang terdiri atas para menteri luar negeri Afrika, Tunisia, dan Mauritius.

        Meskipun tak ada keputusan untuk mengirim pasukan pemelihara perdamaian, Amerika Serikat telah mengusulkan diperluasnya wewenang pengadilan internasional dari Rwanda ke Burundi jika pemusnahan suku bangsa terjadi di negeri tersebut.

        Akibat pertumpahan di Burundi, yang meletus sejak kudeta gagal Oktober 1993, ketika tentara membunuh presiden pertama Hutu, Melchior Ndadaye, semakin banyak orang asing meninggalkan di negeri itu.

        Pembahasan nasional

        Masa depan jabatan Ntibunga dan pergolakan politik yang berkecamuk di negeri tersebut baru dapat dibahas pada perdebatan nasional mengenai berbagai aspek krisis di Burundi yang dijadwalkan berlangsung Mei di Bujumbura.

        Namun Uprona dikhawatirkan akan berusaha mengganjal pembahasan itu dan mengubahnya menjadi konferensi kedaulatan nasional, seperti yang pernah terjadi di tetangga Burundi, Zaire, tahun 1991.

        Pada konferensi seperti itu, Uprona diduga akan mencari peluang untuk memulihkan kekuasaan suku Tutsi, yang memerintah negeri tersebut selama 30 tahun sejak kemerdekaan dari Belgia.

        Kekhawatiran semacam itu muncul karena partai tersebut memiliki kemungkinan berbuat demikian karena Uprona bisa mengharapkan dukungan dari sebagian militer yang didominasi orang Tutsi dan sepertiga anggota kabinet serta partai lain yang didominasi suku Tutsi.

        Kalau saja kerusuhan saat ini berlangsung terus, Uprona diperkirakan akan mendesak Ntibantunganya agar meletakkan jabatan dan menerapkan kembali kekuasaan militer melalui penerapan keadaan darurat.

        Akibat tindakan Uprona dapat memperparah penderitaan rakyat, dan suku Hutu mungkin saja akan memanfaatkan keadaan serta mengobarkan perang gerilya di daerah pedalaman. (29/03/95 21:12)

Tag:


  • Tidak ada

Kategori