Chaidarabdullah’s Weblog

Posts Tagged ‘DRC (Zaire)

       Oleh Chaidar Abdullah

        Jakarta, 28/10 (ANTARA) – Setelah dua tetangganya yang memiliki susunan etnik serupa –Rwanda dan Burundi– lebih dulu menjalani perpecahan, kini giliran Zaire dikhawatirkan terjerumus ke dalam kancah perpecahan setelah beberapa kali dilanda pergolakan.

        Suku Tutsi Banyamulenge, “anak suku” Tutsi yang berasal dari Rwanda dan telah menetap selama beberapa dasawarsa di bagian timur Zaire, dilaporkan AFP telah mengobarkan perang saudara yang mengancam persatuan negeri itu.

        Suku tersebut merencanakan untuk menaklukkan provinsi Kivu Selatan dan bergabung dengan pemberontak lain di Kivu Utara dalam “perjalanan untuk menggulingkan Presiden Mobutu Sese Seko”.

        Pertempuran antara suku Tutsi Banyamulenge dan militer Zaire meletus setelah serangan pada 18 Oktober terhadap satu pabrik gula di dekat kota bernama Uvira.

        Kaum pemberontak itu, yang berasal dari 300.000 anggota masyarakat Banyamulenge — suku Tutsi Rwanda yang beremigrasi ke Zaire sekitar 200 tahun lalu, menuduh pemerintah Zaire tidak memberi mereka kewarganegaraan dan memaksa mereka meninggalkan negeri tersebut.

        Seorang jurubicara suku Tutsi Banyamulenge menyatakan bahwa kelompoknya Aliansi Demokratik Rakyat (ADP), faksi Banyamulenge yang tak terkenal, telah beraliansi dengan pihak-pihak oposisi Zaire.

        Di Zaire, yang sampai 1991 bernama Kongo, dilaporkan terdapat tak kurang dari 450 partai politik.

        Namun ini tak satu partai pun, sekalipun yang paling radikal, pernah mengangkat rasa kesukuan sebagai pemicu kerusuhan di negeri tersebut.

        Kerusuhan saat ini mencuatkan kemungkinan bahwa kemungkinan terjadinya perpecahan sangat besar di negara itu yang terdiri atas lebih dari 200 kelompok etnik dan 400 suku yang berbicara dengan lebih dari 500 dialek berbeda.

        Karena itu, menurut AFP, secara geografis masalah etnik menjadi persoalan utama di Zaire saat terjadi pengangkatan anggota pemerintah atau pelaku kegiatan usaha negara.

        Jabatan portofolio dan jabatan tinggi usaha “dibagi secara rata kepada kelompok politik”, baik kepada kelompok opoisi maupun pro-Mobutu.

        Terpecah

        Meskipun demikian, kelompok etnik besar diberitakan terpecah menjadi suku-suku yang acapkali terlibat dalam pertumpahan darah karena masalah sengketa tanah, urusan lahan ataupun keluarga.

        Di sebagian wilayah Zaire, penduduk desa –yang hanya terpisah sekitar 50 kilometer– berbicara dengan dialek berbeda dan tak dapat saling memahami.

        Karena masalah semacam itu lah, perpecahan dan pemberontakan seringkali mencuat ke permukaan walaupun negeri tersebut telah merdeka dari Belgia sejak 1960.

        Upaya separatis pernah terjadi di provinsi Katanga, tempat pemberontakan kedua terjadi di 1978.

        Pada 1964 dan 1965, negeri itu dilaporkan porakporanda akibat pemberontakan yang menewaskan sedikitnya 500.000 orang.

        Pemberontakan tersebut mulanya bertujuan menentang pemerintah pusat oleh kelompok-kelompok komunis yang dipimpin oleh orang-orang seperti Christophe Gbenye, Joseph Mulelle, Albert Kalondji dan Antoine Gisenga.

        Kelompok itu bernaung di bawah panji Gerakan Nasional Kongo (MNC), yang menurut para pentolan tersebut adalah pewaris Patrice Lumumba, yang meninggal pada 1961.

        Gerakan itu sudah lama pecah dan Gbenye serta Gisenge, setelah dijatuhi hukuman mati, mendapat pengampunan pada 1995.

        Kini kedua orang tersebut menjadi penasehat republik dan anggota parlemen peralihan tapi tetap berusaha menghidupkan warisan politik Lumumba.

        Semua partai politik di Zaire, termasuk kelompok musuh bebuyutan Mobutu –Etienne Tshisekedi, menyampaikan “satu suara ingin mempertahankan integritas wilayah Zaire“.

        Berbagai politik itu tak mau menerima gagasan untuk memperburuk pertikaian di kalangan rakyat Zaire.

        Namun mereka juga mendesak bahwa ratusan ribu pengungsi Rwanda, baik dari suku Hutu maupun Tutsi, harus pulang setelah lebih dari dua tahun pertumpahan darah di 1994 –setelah terbunuhnya presiden Rwanda Juvenal Habyarimana.

        Tetangga lain Zaire, Burundi, juga mengalami kejadian serupa sekitar dua bulan lalu, setelah militer di bawah pimpinan Mayor Pierre Buyoya merebut kekuasaan.

        Ancaman bencana

        Kejadian di Zaire tersebut menimbulkan kekhawatiran para petugas bantuan internasional bahwa negeri itu akan terjemurus makin dalam ke jurang perpecahan dan bencana kemanusiaan seperti yang terjadi di Rwanda dan Burundi.

        Puluhan ribu pengungsi dilaporkan meninggalkan kamp Kibumba di sebelah utara Goma akhir pekan lalu setelah terjadi baku tembak antara pemberontak Tutsi Banyamulenge dan militer Zaire.

        Pemberontak itu telah menguasai sebagian besar wilayah di perbatasan Zaire dengan Rwanda dan Burundi, kejadian yang membuat pemerintah Zaire menuduh kedua tetangganya tersebut terlibat dalam aksi kaum pemberontak.

        Pemerintah Zaire juga telah memberlakukan keadaan darurat di wilayah itu tapi menghadapi kendala karena Mobutu saat ini berada di Swiss setelah menjalani operasi kanker prostat.

        Kerusuhan tersebut dikhawatirkan akan memblokir kiriman makanan dan bahan bakar bagi ratusan ribu pengungsi.

        Sekretaris Jenderal PBB Boutros Boutros-Ghali dilaporkan telah menyeru pihak-pihak yang bertikai agar menyetujui gencatan senjata.

        Ia juga mengusulkan penyelenggaraan konferensi internasional untuk menyelesaikan apa yang digambarkannya sebagai perang regional di wilayah Danau Raya di Afrika Tengah.

        Seruan itu mendapat dukungan Uni Eropa, yang menyatakan akan mengirim utusannya ke wilayah tersebut.

        Masyarakat internasional diberitakan juga mulai khawatir bahwa negara yang kaya akan mineral itu akan terpecah. (27/10/96 13:49)

 

             Oleh Chaidar Abdullah

 

        Jakarta, 4/11 (ANTARA) – Zaire menghadapi ancaman terpecah saat militernya, yang berada dalam kondisi tak menguntungkan, menghadapi tekanan dari pemberontak Tutsi di bagian timur negeri itu.

        Ancaman kekalahan militer Kinshasa membayang saat lebih dari satu juta pengungsi meninggalkan kediaman mereka di Zaire Timur –tempat pemberontak Tutsi menghalau pasukan pemerintah.

        Militer Zaire terancam kehilangan kekuasaan atas Goma dan Bukavu –ibukota provinsi Kivu Utara dan Selatan di bagian timur negeri tersebut.

        Pertempuran memperebutkan Goma, markas upaya bantuan regional di Zaire Timur, antara militer Kinshasa dan pemberontak Tutsi –yang dilaporkan mendapat bantuan dari Rwanda— berkecamuk akhir pekan lalu.

        Di kota lain di sebelah selatan Goma, Bukavu, pemberontak dilaporkan Reuter mengkonsolidasi kekuasaannya dan bersiap menyambut pemimpinnya Laurent Kabila.

        Militer Zaire, yang dikenal dengan nama FAZ, tertinggal dibandingkan dengan negara lain Afrika dalam masalah disiplin dan persenjataan.

        Angkatan bersenjata negeri itu kelihatannya tak berdaya menghadapi pasukan Tutsi, yang diberitakan mendapat dukungan dari militer Tutsi di tetangga- tetangganya, Rwanda dan Burundi.

        Zaire bahkan disebut-sebut “tidak lagi memiliki kekuatan tempur”. Setelah bertahun-tahun terjadi perpecahan kesukuan dan campur tangan pihak luar, Zaire –yang dulu bernama Kongo– dilaporkan hanya “memiliki orang-orang berseragam tapi bukan militer sejati”.

        Berita buruk dari bagian timur negeri tersebut diduga masih dapat memicu rasa patriotik di ibukota Zaire.

        Namun kejadian semacam itu juga dikhawatirkan akan melambungkan keinginan untuk memisahkan diri di wilayah Shaba, wilayah perbatasan yang kaya akan mineral dengan Zambia, dan “gudang berlian” Kazai di Zaire Tengah.

        Vakum

        Zaire memiliki catatan panjang campurtangan pihak luar. Tahun 1970 dan 1980-an, tentara Perancis, Belgia dan Marokko mencampuri urusan dalam negeri Zaire dalam aksi pemadaman aksi separatis, terutama di Shaba.

        Sejumlah negara asing, yang dipimpin Amerika Serikat, telah menyediakan bantuan keamanan dan senjata selama era Perang Dingin.

        Kini Perang Dingin usai, sementara pemimpin negeri tersebut Mobutu Sese Seko (66) dirawat di Swiss karena menderita kanker dan pada saat yang sama Zaire tidak memiliki kawan tangguh.

        Dengan takadanya Mobutu, yang telah tiga bulan dirawat di Swiss, terjadi kevakuman politik di negeri itu, karena tak ada calon penggantinya baik yang direncanakan ataupun berdasarkan undang-undang.

        Pada saat yang sama tak terlihat perubahan selama enam tahun upaya pro-demokrasi di negeri tersebut.

        Akibatnya ialah penentangan menguat dan banyak partai di negeri itu “berkiblat” pada suku atau pemisahan diri.

        Zaire memiliki rakyat 35 juta orang tapi militernya tak memiliki kekuatan berarti.

        Akan tetapi sekalipun seluruh rakyat Zaire mengesampingkan pertikaian mereka dan memutuskan akan berusaha menguasai bagian timur negeri tersebut, tugas berat tetap menghadang.

        Salah satu strategi Mobutu untuk mencegah saingan- saingannya bersatu ialah tidak membuat jalan di negara terbesar kedua di Sub-Sahara.

        Kebijakan semacam itu tidak memungkinkan pengiriman balabantuan ke bagian timur jika militer Kinshasa kehilangan bandar udara Goma.

        Mobutu juga telah memecat sebagian besar perwira FAZ selama beberapa tahun terakhir ini karena mereka condong kesukuan atau tak memiliki prestasi politik.

        Upaya diplomatik

        Kini sementara ratusan ribu pengungsi dilaporkan menghadapi bencana karena para petugas pertolongan meninggalkan Zaire Timur, upaya diplomatik guna menghindari bencana di negeri tersebut tampaknya tak memberi hasil memuaskan.

        Negara-negara tetangga Zaire merencanakan konferensi tingkat tinggi tanggal 5 November di Kenya, tapi Zaire malah menyatakan takkan hadir.

        Perancis diberitakan bermaksud membuka koridor kemanusiaan di Zaire, yang akan dijaga oleh pasukan dari Perancis, Belgia dan Afrika Selatan, guna membantu para pengungsi.

        Akan tetapi Perancis menyatakan tak dapat bertindak sendirian dan meminta negara-negara Eropa dan masyarakat internasional untuk memberi bantuan.

        Perancis juga masih menanti permintaan bantuan dari negara-negara Afrika kepada Uni Eropa.

        Sementara itu di Kinshasa Kepala Staf Militer Zaire, Jenderal Eluki Monga Aundu, menurut Reuter, menuduh Perdana Menteri Kengo wa Dondo tidak berbuat cukup memadai untuk membantu tentara Zaire yang berada di garis depan.

        Ia menyesalkan tindakan lamban pemerintah. Militer Zaire, katanya, juga belum memperoleh peralatan yang diperlukan.

        Kengo, yang menjadi sasaran kecaman rakyat dan tentara Zaire, mengesampingkan penyelenggaraan pembicaraan sementara tentara asing masih berada di wilayah Zaire.

        Eluki, yang berjanji akan melakukan tindakan keras terhadap tentara Rwanda segera setelah memperoleh perlengkapan yang diperlukan pasukannya, menuduh masyarakat internasional “tutup mata terhadap agresi Rwanda“.

(04/11/96 16:58)

 

       Oleh Chaidar Abdullah

        Jakarta, 10/11 (ANTARA) – Presiden Zaire Mobutu Sese Seko, yang sedang menjalani perawatan setelah operasi prostat di Swiss, Agustus lalu, menghadapi tekanan makin besar agar kembali ke negerinya dan menangani krisis.

        Mobutu dilaporkan Reuter, Sabtu (9/11) mengatakan akan pulang ke Zaire “dalam beberapa pekan” setelah dokter yang merawatnya menyatakan ia mulai pulih.

        Ia juga menyatakan menerima baik gagasan penempatan pasukan internasional guna membantu pengiriman bantuan buat pengungsi di Zaire Timur.

        Pada hari yang sama Dewan Keamanan PBB diberitakan AFP menyusun dasar bagi pengiriman pasukan multinasional guna melindungi pengungsi di bagian timur Zaire, tapi pengesahannya tertunda karena menunggu usul Perancis.

        PBB merencanakan untuk mengirim pasukan bekekuatan 4.000-5.000 personil untuk melindungi pengungsi yang diberitakan menghadapi ancaman kematian akibat kekurangan air.

        Sebelumnya Presiden Perancis Jacques Chirac menyatakan bahwa Mobutu adalah orang yang paling tepat untuk mewakili negerinya dan mencari penyelesaian politik bagi kemelut di Zaire.

        Bencana kemanusiaan terus membayangi Zaire setelah meletus pertempuran antara pemberontak Tutsi Banyamulenge dan pasukan pemerintah.

        Mobutu, yang telah menuduh tetangga Zaire –Rwanda– ikut bertanggung jawab atas kerusuhan di negerinya, juga diberitakan telah mengadakan kontak dengan pejabat-pejabat negerinya mengenai keadaan di dua provinsi Kivu –tempat pertempuran berkecamuk paling sengit.

        Banyak kalangan berpendapat jika Mobutu segera kembali ke Zaire, ia masih akan dapat menyelamatkan negerinya dari perpecahan.

        Pemberontak Tutsi yang telah merebut sebagian besar wilayah Zaire Timur berusaha mendirikan pemerintah sendiri di tiga kota utama yang didudukinya.

        Ketidakhadiran Mobutu di Zaire tampaknya membuat pemerintah dan militer terpecah.

        Kepala Staf Militer Zaire Jenderal Eluki Monga Aundu telah menuduh Perdana Menteri Kengo wa Dondo tidak memberi dukungan memadai kepada militer dalam menghadapi pemberontak.

        Militer Zaire, yang kurang memiliki kemampuan tempur dan disiplin serta senjata, tampaknya menghadapi kesulitan dalam menanggulangi gempuran pemberontak Tutsi dan menghadapi pukulan keras di bagian timur negeri tersebut.

        Ketidakhadiran Mobutu di negerinya juga membuat kecewa Perancis, yang melancarkan Operasi Turquoise –misi kemanusiaan yang dilancarkan Perancis selama pembantaian suku bangsa di Rwanda pada 1994.

        Perancis kini berharap kepulangan Mobutu akan memungkinkan dinas-dinas bantuan menolong para pengungsi di Zaire.

        Sebanyak 1,2 juta pengungsi terdampar di Zaire Timur, wilayah miskin yang menjadi ajang pertempuran, sementara bantuan tak dapat dikirim.

        Tingkatkan harapan

        Kepulangan Mobutu diduga akan meningkatkan harapan bagi pemulihan stabilitas, yang rusak akibat pertempuran dan kerusuhan di Zaire.

        Jurubicara Mobutu, sebagaimana dikutip Reuter, mengatakan, “Kepulangan (Mobutu) ini pada saat bagian negeri ini diduduki pasukan Rwanda, Burundi dan Uganda dengan bantuan rekan-rekannya … dapat dipastikan akan mengubah keadaan baik di bidang militer maupun politik.”

        Mobutu, yang diyakini memiliki kharisma, diharapkan akan dapat memotivasi militernya, yang mengalami kemunduran moril.

        Namun harapan itu tampaknya menghadapi hambatan karena Mobutu dianggap tak mampu berperan sebagai panglima militer dan bukan presiden yang tanggap.

        Kelemahan Mobutu selama memerintah ialah ia tidak memerintahkan pembuatan jalan yang dapat menghubungkan setiap wilayah Zaire.

        Meskipun demikian Mobutu masih dianggap sebagai diplomat yang cakap dan memiliki otoritas untuk mencapai persetujuan serta kompromi dengan musuh-musuhnya dengan cara yang tak dapat dilakukan diplomat lain Zaire.

        Mobutu pernah menjadi pelindung bagi lebih dari satu juta orang Hutu yang menyelamatkan diri dari Rwanda ke Zaire ketika suku Tutsi merebut kekuasaan setelah pembantaian tahun 1994.

        Campurtangan Mobutu juga telah menghentikan pengusiran suku Hutu oleh pemerintahan Kengo pada Agustus 1995, ketika militer Zaire berhasil mengusir 15.000 pengungsi kendati menghadapi akibat berupa kecaman masyarakat internasional.

        Kehadiran suku Hutu di wilayah tempat tinggal suku Tutsi di pegunungan Mulenge sejak akhir Abad Ke-18 menjadi pangkal konflik di Zaire Timur.

        Menurut Zaire, suku Tutsi Banyamulenge menjadi wali bagi militer Rwanda –yang didominasi suku Tutsi dan dituduh Zaire terlibat dalam pertempuran di bagian timur negeirnya.

        Meskipun pemerintahnya menghadapi tudingan korupsi, Mobutu, yang memangku jabatan setelah kudeta di 1965, tetap menjadi tumpuan bagi pemulihan keadaan di Zaire.

        Mobutu diharapkan akan dapat menyatukan militer, yang terpecah dan mengalami “kedodoran moril”, sehingga akan dapat menghadapi pemberontak, selain menanggulangi “kaum agresor”. (10/11/96 11:20)

 

        Oleh Chaidar Abdullah

        Jakarta, 18/12 (ANTARA) – Militer Zaire, yang tidak memiliki perlengkapan tangguh dan tak terorganisir, mengalami kesulitan dalam meredam pemberontakan suku Tutsi di negeri itu pada penghujung 1996, sementara ratusan ribu pengungsi terus mengalir ke negara-negara tetangga.

        Suku Tutsi Zaire, yang dikenal dengan nama Banyamulenge dan disebut-sebut mendapat dukungan Rwanda, mengangkat senjata pada Oktober lalu.

        Suku Tutsi Banyamulenge terdiri atas 300.000 orang; mereka berasal dari Rwanda dan telah menetap di Zaire selama 200 tahun tapi pada 1981 tidak diberi kewarganegaraan Zaire.

        Kelompok pemberontak terdiri atas empat faksi politik yang sejak lama menentang presiden negeri itu. Mereka membentuk Aliansi Pasukan Demokratik bagi Pembebasan Kongo-Zaire (ADEL) dan sekarang menguasai sebagian besar wilayah Zaire Timur.

        Aliansi tersebut, yang dipimpin oleh tokoh oposisi kondang Laurent Kabil, lahir saat pemerintah berupaya menghalau kembali suku Tutsi Banyamulenge ke Rwanda.

        Dalam waktu singkat kaum pemberontak tersebut juga menguasai sebagian daerah perbatasan Zaire, dan kini dilaporkan memiliki sasaran untuk menggulingkan Presiden Mobutu Sese Seko –yang dijadwalkan kembali ke negeri itu hari Selasa (17/12).

        Pertempuran antara pemberontak militer Kinshasa memicu terjadinya gelombang ratusan ribu pengungsi ke Burundi dan Rwanda.

        Akibat pertempuran di Zaire, Komite Palang Merah Internasional (ICRC) pada Rabu (4/12) menarik stafnya terakhirnya dari kota kecil Kindu karena alasan keamanan, dan menyatakan ribuan pengungsi di wilayah tersebut tidak mendapat bantuan.

        Sebanyak 300.000 pengungsi, 140.000 di antara mereka suku Hutu, diduga menetap di kamp-kamp di sebelah utara Uvira di dekat perbatasan barat Zaire dengan Burundi.

        Mereka terpencar-pencar ketika pemberontak menguasai Uvira pada bulan Oktober.

        Tak kurang dari 30.000 pengungsi telah kembali ke Burundi, dan ribuan pengungsi menyelamatkan dengan menyeberangi Danau Tangnyika ke Tanzania, tapi sebanyak 100.000 pengungsi diberitakan hilang.

        Menurut suatu pernyataan ICRC yang disiarkan Reuter, Selasa, staf terakhir ICRC meninggalkan Kindu, 400 kilometer sebelah selatan Kisangani di bagian timurlaut negeri itu untuk sementara.

        Pemberontak pada hari yang sama menyatakan telah merebut kota kecil tersebut, tapi penduduk di kota itu diberitakan menyatakan, Kindu masih berada dalam kekuasaan pemerintah.

        Sementara itu Angkatan Bersenjata Zaire (FAZ) tampaknya tidak mampu membendung gerak pemberontak ke arah barat dan timur negeri tersebut.

        Pemerintah di Kinshasa menyatakan, pemberontakan di negerinya didalangi oleh militer Rwanda dan Uganda, dengan bantuan Burundi –tempat militer Tutsi memerangi pemberontak Hutu.

        Uganda dan Rwanda tentu saja membantah tuduhan itu, kendati banyak saksi mata dan wartawan asing melaporkan “kendaraan lapis baja Rwanda berada di Goma,” sebelah utara Danau Kivu di perbatasan kedua negara tersebut.

        FAZ, yang berhadapan dengan kekuatan “koalisi”, hampir tak dapat melancarkan serangan balik.

        FAZ juga menghadapi kesulitan keuangan untuk membeli senjata dan perlengkapan, dan menuduh pemerintah negerinya tidak perduli dengan kondisi yang dihadapi pasukannya.

        Pada saat yang sama harian yang dekat pemerintah Zaire, menuduh “poros AS-Kanada” karena sampai saat ini gagal menempatkan pasukan multinasional di bagian timur negeri tersebut untuk memudahkan petugas bantuan membagikan makanan dan obat kepada para pengungsi.

        Sumber daya alam

        Sementara itu banyak pengulas yang dikutip AFP menyatakan, pembentukan zona Tutsi yang luas dan menyeberangi perbatasan timur Zaire dari Rwanda serta Uganda membuat impian rakyat Sungai Nil mulai jadi kenyataan.

        Pada saat yang sama dukungan dari Washington bagi wilayah Danau Raya, yang rakyat berbahasa Inggris, tidak berkurang. AS memandang wilayah itu sebagai “jalan menuju Afrika”.

        Kekayaan alam provinsi-provinsi Kivu, di bagian timur, dan ke utara menuju daerah dataran tinggi di Zaire tampaknya juga menjadi sebab meletusnya pemberontakan.

        Kandungan emas di wilayah Bunia, Zaire Utara, diduga cukup berlimpah, sementara daerah dataran tinggi Kivu Selatan telah lama menjadi pangkalan pemimpin pemberontak Tutsi.

        Daerah perbatasan Zaire juga disebut-sebut memiliki kandungan minyak “rahasia”, meskipun negeri itu sendiri termasuk salah satu negara miskin.

        Sumber daya alam semacam itu menjadi alasan Zaire untuk melempar tuduhan kepada Rwanda, yang wilayahnya kecil dan rakyatnya memerlukan wilayah lebih luas.

        Meskipun demikian, banyak diplomat dilaporkan telah memperingatkan bahwa perubahan perbatasan Zaire takkan diterima oleh masyarakat internasional.

        Harapan

        Kini harapan para politikus dan tentara Zaire terletak pada Mobutu untuk dapat menyelesaikan krisis politik dan militer yang meningkat di negeri tersebut.

        Marsekal Mobutu (66) dijadwalkan pulang 17 Desember, setelah empat bulan berada di Eropa –tempat ia menjalani operasi kanker prostat dan perawatan.

        Mobutu, yang telah berkuasa selama selama 31 tahun di negara dengan penduduk 40 juta orang itu, dipandang telah mempertahankan kekuasaannya dengan cara membuat saingan- saingannya terpecah dan bahkan “membeli musuh-musuhnya”.

        Mobutu memangku jabatan November 1965, setelah Zaire –yang saat itu dikenal dengan nama Congo Leopoldville— dilanda lima tahun perang saudara yang meletus sesudah kemerdekaan dari Belgia.

        Mobutu mempersingkat masa perawatannya karena krisis berkepanjangan di negerinya.

        Meskipun kaum oposisi menyalahkan Mobutu, yang memangku jabatan saat ia berusia muda, sebagai pangkal krisis tersebut, tapi mereka tetap percaya bahwa Mobutu –sebagai panglima tertinggi militer– adalah satu-satunya tokoh yang mendapat meningkatkan moral militer.

        Ia juga diharapkan akan merombak susunan komando tertinggi militer sebagai persiapan untuk melancarkan serangan balasan terhadap pemberontak.

        Mobutu sebelumnya mendapat dukungan AS, sementara negara-negara Barat memandang Zaire sebagai zona penyangga untuk menghambat komunis.

        Namun dukungan tersebut memudar saat pertempuran di negara tetangga Zaire, Angola, mendekati penyelesaian dan pengaruh bekas Uni Sovyet merosot di Afrika.

        Atas tekanan Barat agar melakukan pembaharuan, Mobutu pada April 1990 merintis jalan menuju demokrasi, setelah lebih dari dua dasawarsa menerapkan sistem partai tunggal.

        Namun Desember 1992, presiden Zaire itu memecat tokoh pembaharu perdana menteri Etienne Tshisekedi –bekas aliansi yang berubah menjadi musuhnya– sehingga jalan ke arah demokrasi kembali terhambat. (18/12/96 13:07)



  • Tidak ada

Kategori