Chaidarabdullah’s Weblog

Posts Tagged ‘P.Timteng

 

       Oleh Chaidar Abdullah    

Jakarta, 13/7/96 (ANTARA) – Para Menteri Luar Negeri Arab yang mengadakan pertemuan di ibukota Oman, Muskat hari Sabtu dilaporkan memperkeras sikap mereka dalam menanggapi pernyataan Benjamin Netanyahu di Washington bahwa “takkan pernah ada pembagian kembali” Jerusalem.

Baca entri selengkapnya »

  

       Oleh Chaidar Abdullah

        Jakarta, 19/7/96 (ANTARA) – Perdana Menteri baru Israel Benjamin Netanyahu mulai “melempar kail” untuk meredakan keprihatinan Arab dan kendati Mesir optimistis, Palestina serta Suriah tetap meragukan ketulusan Tel Aviv guna mewujudkan perdamaian di wilayah yang mudah bergolak itu.

        Dengan “sedikit memperlunak sikap”, pemimpin pemerintah paling sayap kanan di Israel itu mampu meyakinkan Presiden Mesir Hosni Mubarak bahwa perundingan “perdamaian Timur Tengah dapat dilanjutkan dengan Netanyahu”.

        Mubarak, kepala negara Arab pertama yang menerima Netanyahu sejak ia mengalahkan pemimpin Partai Buruh Shimon Peres dalam pemilihan umum Mei, menyatakan ia merasa besar hati dengan pertemuan dua jamnya dengan Netanyahu.

        “Saya dapat memberitahu Anda sekarang bahwa saya sangat tenang. Saya mengerti konsepsinya dan saya memiliki harapan besar bahwa proses perdamaian akan berlanjut,” kata Mubarak di Kairo sebagaimana dikutip Reuter.

        Mubarak tetap optimistis kendati tak terlihat tanda bahwa Netanyahu memperlunak penentangannya terhadap pengembalian wilayah-wilayah Arab yang diduduki Israel sebagai imbalan bagi perdamaian, prinsip yang dipertahankan negara-negara Arab sebagai dasar setiap perundingan dengan Tel Aviv.

        Sementara itu penasehat Mubarak, Osama Al-Baz, menyatakan orang tidak dapat mengharapkan perubahan 180 derajat dalam sikap Israel, atau hasil yang dramatis.

        Pemimpin nasionalis sayap kanan Israel itu hanya bergeser sedikit dari sikap kerasnya, dan hanya mengumumkan sedikit peredaan atas penutupan terhadap wilayah-wilayah Palestina dan mengizinkan 10.000 orang Palestina lagi untuk kembali bekerja di Israel.

        Jumlah tersebut jauh dari yang diduga pers Israel sendiri dan jauh lebih rendah dari peredaan blokade pada Juni, ketika Israel mengizinkan 25.000 orang Palestina bekerja kembali di wilayahnya.

        Namun Al-Baz menyatakan bahwa Israel “bertekad untuk mencapai perdamaian dengan semua pihak Arab”.

        Netanyahu juga dapat membuat senang para pejabat Mesir dengan pernyataan bahwa negerinya akan “berpegang pada kerangka rujukan” konferensi perdamaian Madrid 1991, yang menetapkan prinsip pengembalian wilayah yang diduduki Israel sebagai imbalan bagi perdamaian.

        Mengenai prinsip tersebut, Netanyahu sebelumnya telah menyatakan bahwa semua itu tidak sesuai dan membahayakan keamanan Israel.

        Meskipun demikian, Netanyahu berusaha meredakan keprihatinan dan “mendinginkan kepala” pemimpin-pemimpin Arab dengan menjual pernyataan bahwa Menteri Luar Negerinya David Levy akan bertemu dengan Presiden Palestina Yasser Arafat pekan depan. Namun ia tidak menyebutkan kapan tepatnya.

        Sementara itu di Jerusalem, harian Yediot Aharonot — yang dikutip AFP, dalam ringkasannya mengenai hasil pertemuan Netanyahu-Mubarak di Kairo berkomentar, “Mubarak: Saya yakin kembali. Netanyahu: Saya tidak memberi apa-apa.”

        Dengan hanya sedikit mengubah bunyi kalimatnya, Netanyahu dilaporkan berhasil meyakinkan kembali pemimpin Mesir tersebut, padahal pemimpin Israel itu tidak membicarakan isi kampanyenya sebelum pemilihan presiden pada Mei.

        Hari Jumat, tanda tanya besar dilaporkan tetap menggantung mengenai perincian maksud Netanyahu sesungguhnya dalam “keinginannya untuk melanjutkan proses perdamaian dengan tetangga-tetangga Arab-nya,” yang telah macet selama lima bulan.

        Netanyahu juga tidak menyebut-nyebut tanggal bagi penempatan kembali militer Israel dari kota kecil Al-Khalil di Tepi Barat Sungai Jordan.

        Penarikan tentara Yahudi dari 80 persen bagian kota tersebut mestinya telah dilakukan pada Maret tapi ditunda oleh bekas perdana menteri Shimon Peres menyusul gelombang serangan bom bunuh diri oleh kelompok garis keras Palestina yang menentang persetujuan perdamaian dengan Israel.

        Berdasarkan persetujuan September 1995, 80 persen bagian kota itu tempat 400 orang Yahudi tinggal di tengah-tengah 120.000 orang Palestina, mesti diserahkan kepada Pemerintah Otonomi Palestina, dan penarikan tersebut dipandang sebagai ujian pertama atas komitmen Netanyahu terhadap proses perdamaian.

        Namun sampai sekarang, Netanyahu tidak pernah membicarakan masalah penarikan tentara Israel dari kota itu.

        Tak berubah

        “Janji Netanyahu” untuk meredakan amarah dunia Arab, yang mengadakan konferensi tingkat tinggi di Kairo 22-23 Juni guna menghadapi sikap tak kenal kompromi pemimpin Likud tersebut, tak berhasil mencairkan keraguan dalam diri banyak pemimpin Palestina.

        “Semua deklarasi ini sama sekali bukan baru dan yang ada di baliknya penuh dengan bahaya sesungguhnya,” kata Menteri Pemerintah Lokal Palestina, Saeb Erakat, sebagaimana dikutip AFP.

        Pejabat lain Palestina, Hassan Asfur — pemimpin departemen perundingan Pemerintah Otonomi, menyatakan janji Netanyahu untuk mengizinkan 10.000 lagi orang Palestina untuk bekerja di Israel “tidak memadai” bagi dilanjutkannya proses perdamaian.

        Pernyataan Netanyahu bahwa David Levy akan bertemu dengan Arafat pekan depan juga tidak memenuhi tuntutan Palestina untuk mengadakan pembicaraan dengan perdana menteri Israel itu sendiri.

        Penasehat Arafat, Nabil Abu Rudeina, menganggap pertemuan Levy-Arafat adalah “awal yang baik” tapi itu hanya dapat mencapai sasaran kalau ditujukan sebagai persiapan bagi pertemuan puncak Arafat-Netanyahu.

        Sejak menyampaikan pidato saat pelantikannya, Netanyahu tak pernah mengumumkan kesediaan bertemu dengan Arafat atau menyampaikan komitmen untuk melakukannya, tindakan yang membuat gusar para pejabat Palestina.

        Duta Besar Palestina untuk Jakarta, Ribhi Y. Awad, bahkan pernah menyatakan jika Netanyahu tak ingin berunding dengan Arafat, “apakah ia ingin berunding dengan monster?”.

        Di Jerusalem Erakat mengutuk perdana menteri Israel tersebut karena tetap tidak mengacuhkan “seruan Presiden Palestina Arafat untuk melanjutkan perundingan”, karena “mengaitkan nasib 120.000 orang Palestina di Al-khalil dengan beberapa ratus pengacau Yahudi” dan karena menyebut Tepi Barat dengan menggunakan nama daerah itu dalam Taurat, Judea dan Samaria.

        Penundaan penarikan militer Yahudi dari Al-Khalil juga menjadi kekecewaan besar kedua Pemerintah Otonomi Palestina setelah lawatan Netanyahu ke Washington pekan kedua bulan Juli.

        Selama lawatannya tersebut, Presiden AS Bill Clinton tak berhasil menekan Netanyahu agar menetapkan tanggal penarikan dari Al-Khalil atau berjanji untuk membekukan pembangunan permukiman Yahudi di wilayah-wilayah Palestina.

        Netanyahu juga tidak mengubah sikapnya mengenai Jerusalem, yang diklaimnya sebagai ibukota utuh dan langgeng Israel sementara Palestina mengklaimnya sebagai ibukota negara mendatang Palestina.

        Nada serupa para pejabat Palestina tersebut juga disampaikan Suriah, yang menyatakan Damaskus tidak melihat sesuatu yang baru dalam pernyataan Netanyahu di Kairo.

        “Karena tekanan Arab dan masyarakat dunia, Netanyahu berusaha dalam ucapannya di Kario Kamis (18/7) untuk memperlunak pernyataannya tapi tanpa meninggalkan dasar kebijakannya,” kata radio pemerintah Suriah.

        Menurut radio itu, Damaskus siap membahas semua tindakan yang akan menjamin keamanan bagi Israel dan tetangga-tetangganya akan melakukan pengaturan tersebut sama dan seimbang.

        Pembicaraan perdamaian Suriah-Israel, yang dimulai pada 1991, telah macet mengenai masalah penarikan Israel dari Dataran Tinggi Golan, yang direbut Israel dari Suriah tahun 1967.

        Sementara itu harian berbahasa Inggris, Syria Times, berkomentar, “Netanyahu mesti faham bahwa sikap garis kerasnya takkan pernah mewujudkan perdamaian di wilayah ini. Jika ia berminat mengenai masalah keamanan dan stabilitas di wilayah ini ia mesti menghormati prinsip- prinsip perdamaian dan mematuhi persyaratan bagi perdamaian.”

        Harian lain Suriah mewartakan pihak Arab takkan menerima baik prasyarat Netanyahu bagi dimulainya kembali pembicaraan perdamaian.

        Pemimpin Israel tersebut menuntut dihentikannya semua aksi perlawanan sebelum dimulainya perundingan apapun dan bahkan sebelum disampaikannya pernyataan untuk menerima baik perundingan.

        Netanyahu juga menyerukan penghentian semua kegiatan Palestina di Jerusalem dan penutupan semua kantor Palestina di kota suci tiga agama langit tersebut, Yahudi, Nasrani dan Islam, katanya.

        “Bertolak belakang dengan apa yang dikatakan Netanyahu mengenai penolakannya terhadap berbagai prasyarat, ia malah mengajukan sejumlah prasyarat fatal yang membuat dilanjutkannya perundingan tak mungkin terlaksana,” kata harian Ath-Thawra. (20/07/96 11:10)

 

       Oleh Chaidar Abdullah

        Jakarta, 24/7/96 (ANTARA) – Pertemuan Presiden Palestina Yasser Arafat dengan Menteri Luar Negeri Israel David Levy hari Selasa (22/7) di tempat penyeberangan Erez di wilayah otonomi Palestina diharapkan akan menjadi terobosan baru dalam proses perdamaian Timur Tengah yang macet menyusul terpilihnya pemimpin Partai Likud bulan Mei.

        Setelah pertemuan 90 menit dengan Levy, Arafat — sebagaimana dikutip Reuter — menyatakan bahwa kontak-kontak lebih lanjut akan dilakukan guna memajukan proses perdamaian.

        Sebelumnya, pihak Palestina menyatakan akan mengajukan empat usul guna menghidupkan kembali proses perdamaian Timur Tengah, yang terancam mati setelah Netanyahu menyampaikan sikap tak kenal komprominya dalam kampanye pemilihan perdana menteri Israel.

        Ketua Dewan Legislatif Palestina, Ahmed Qurea, mengatakan Israel — di pihaknya — harus menerapkan persetujuan sementara dengan pihak Palestina dan memulai pembicaraan mengenai status akhir sesuai jadwal.

        “Untuk membuat pertemuan ini berhasil, Israel harus memerintahkan penghentian (kegiatan) pembangunan permukiman sesegera mungkin,” katanya sebagaimana dikutip AFP.

        Ia menambahkan bahwa syarat terakhir ialah penghentian tindakan pengubahan dan pelanggaran atas hak asasi Palestina di Jerusalem Timur, yang diklaim Palestina dan Israel sebagai ibukota negara mereka.

        Pertemuan hari Selasa antara Arafat dan Levy adalah kontak tingkat tinggi pertama sejak pemimpin sayap kanan Israel menang dalam pemilihan umum tanggal 29 Mei.

        Kedua pihak saling menuduh masing-masing pihak gagal berpegang pada apa yang telah disepakati sebelumnya, dan Israel telah mengancam akan melanjutkan pembangunan permukiman Yahudi serta menutup kantor-kantor Palestina di Jerusalem.

        Palestina dan Israel sejak September 1993 telah menandatangani serangkaian persetujuan perdamaian sementara yang menghasilkan Pemerintah Otonomi Palestina di Tepi Barat Sungai Jordan dan Jalur Gaza. Tetapi sampai sekarang Israel belum berhasil menarik tentaranya dari Al- Khalil di Tepi Barat yang mestinya telah dilakukan beberapa bulan lalu.

        Persetujuan tersebut menetapkan bahwa kedua pihak akan memulai perundingan guna menentukan status permanen Pemerintah Otonomi Palestina, termasuk pembahasan permukiman Yahudi, negara Palestina, hak atas Jerusalem dan pemulangan pengungsi Palestina yang tinggal di luar wilayah-wilayah Palestina.

        Guna memberi kredibilitas pada proses perdamaian, Israel mesti menyampaikan komitmennya untuk melaksanakan semua persyaratan itu, kata Qurea.

        Netanyahu telah menyatakan bahwa ia hanya bersedia bertemu dengan Arafat, yang dicapnya sebagai teroris, kalau keamanan nasional Israel dijamin dan Arafat menghentikan serangan kelompok garis keras terhadap Israel.

        Kenyataan bagi Netanyahu

        Sementara itu Duta Besar Israel untuk AS, Eliahu ben Elissar, menyatakan dalam suatu wawancara bahwa Netanyahu sebenarnya “membenci” Arafat, tapi pemimpin beraliran keras Israel tersebut tak bisa menghindari “kenyataan”.

        “Kami menghadapi orang yang membenci Arafat dan tidak menganggapnya cukup berharga untuk duduk di meja perundingan,” katanya kepada harian berbahasa Arab yang dikutip AFP di Kairo, Al-Hayat.

        “Saya dulu tidak membawa dia (Arafat) ke sini dari Tunis, tapi pemerintah terdahulu lah yang melakukannya. Namun sekarang ia berada di sini dan saya tahu bukan wewenang kami untuk mengembalikan dia ke Tunis. Cuma sayangnya, saya harus menelan itu,” kata Elissar mengenai sikap Netanyahu terhadap Arafat.

        Arafat sendiri kembali untuk pertamakali ke Tepi Barat dan Jalur Gaza dari markas PLO di Tunis tahun 1994, berdasarkan Persetujuan Oslo — yang ditandatangani pendahulu Netanyahu, Shimon Peres dari Partai Buruh — tahun 1991.

        Partai Likud, yang dipimpin Netanyahu, tambahnya, tidak mengakui Persetujuan Oslo dan juga tak ingin mengakuinya karena kami tak ingin memberi mereka (Palestina) kekuasaan sah”.

        Namun semua itu adalah kenyataan yang tak dapat dielakkan pemerintah sayap kanan Israel, dan sebagiannya adalah Arafat serta Pemerintah Otonomi.

        “Saya menggunakan istilah Pemerintah Otonomi sebagai ungkapan yang melunakkan arti, kendati saya tahu siapa yang memimpinnya,” kata Elissar.

        Sampai sekarang Netanyahu tak pernah menyampaikan komitmen untuk mengadakan pembicaraan langsung dengan Arafat, dan hanya mengatakan ia akan bertemu dengan Arafat kalau “untuk kepentingan Israel“. Levy adalah pejabat tinggi pertama pemerintahnya yang dikirim untuk bertemu dengan Arafat.

        Meskipun pihak Palestina berpendapat pertemuan Arafat- Levy merupakan terobosan guna menembus kebekuan dalam proses perdamaian, harapan Palestina untuk mendirikan negara Palestina tampaknya makin sulit diwujudkan di bawah pemerintah Netanyahu.

        Menurut Elissar, Palestina nantinya harus menerima kenyataan bahwa Israel takkan pernah mengizinkannya mendirikan negara merdeka dan harus menerima cara penyelesaian hidup bersama Israel.

        “Harus ada semacam pembagian yang menetapkan masing- masing pihak menangani dan bertanggung jawab atas urusannya sendiri. Keamanan (di wilayah-wilayah pendudukan) akan berada dalam tangan Israel …,” katanya.

        Sebagai anggota Likud, katanya, ia tahu pengaturan itu takkan memuaskan Palestina, tapi pihak Palestina tidak mempunyai pilihan.

        Arafat terjerat

        Pemimpin PLO Yasser Arafat sejak memulai perundingan perdamaian dengan bekas pemerintah Partai Buruh di Israel memang telah terperangkap dalam “permainan” Israel.

        Ketika Persetujuan Prinsip-prinsip ditandatangani di Washington tahun 1993, Arafat dan pejabat-pejabat Palestina serta-merta menyatakan bahwa itu adalah awal bagi berdirinya negara Palestina.

        Namun pemerintah Israel saat itu telah menyatakan Palestina “hanya akan menangani urusan administratif” dan Persetujuan Otonomi bukan perintis bagi negara Palestina merdeka.

        Pemerintah Partai Buruh di Israel, baik semasa Yitzhak Rabin — yang ditembak mati oleh ekstremis Yahudi di Tel Aviv — maupun penggantinya, Shimon Peres yang disebut-sebut sebagai arsitek Persetujuan Oslo, memang menyampaikan kesediaan menarik militer dari wilayah permukiman Palestina.

        Namun penarikan tersebut sering tertunda akibat serangan-serangan bom bunuh diri oleh kelompok garis keras Palestina yang menentang persetujuan dengan Israel.

        Menurut seorang anggota Parlemen Jordania dari pihak oposisi, kesalahan Arafat adalah ia berunding dengan Israel pada saat posisinya lemah.

        Akibat keadaan tersebut, Arafat tak punya pilihan apabila timbul gangguan dalam proses perdamaian, seperti serangan bom bunuh diri, dan Tel Aviv menekannya untuk meredam aksi semacam itu.

        Arafat bahkan tak bisa melepaskan diri dan menjadi “boneka” Israel untuk menghadapi bangsanya sendiri yang tidak mau menerima kehadiran Israel di tanah Palestina. (24/07/96 20:56)

 

       Oleh Chaidar Abdullah

        Jakarta, 20/8 (ANTARA) – Meskipun bulan Agustus ini dia “menghidupkan” kembali perundingan dengan Palestina, satu pekan kemudian Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memperlihatkan bahwa ia tidak terikat komitmen dengan memboikot pertemuan peringatan ketiga awal kelahiran perdamaian Palestina-Israel.

        “Tak seorang pun hadir hari ini. Kami akan melanjutkan persetujuan tapi tak seorang pun hadir hari ini,” demikian komentar juru bicara Netanyahu, sebagaimana dikutip Reuter.

        “Itu bukan persetujuan kami,” katanya ketika mengomentari peringatan ketiga upaya yang menghasilkan Persetujuan Oslo bulan September, dan dihadiri oleh para utusan bekas pemerintah Israel, pejabat Palestina dan Norwegia di Laut Galilee di kaki Dataran Tinggi Golan.

        Pertemuan di Laut Galilee tersebut diadakan guna memperingati pemarafan persetujuan perdamaian di Oslo, Norwegia.

        Persetujuan itu menetapkan kerangka dasar bagi kekuasaan otonomi Palestina di Tepi Barat Sungai Jordan dan Jalur Gaza, yang ditandatangani tanggal 13 September 1993 di Washington.

        Sebelumnya, tanggal 13 Agustus Israel dilaporkan melanjutkan perundingan dengan Palestina mengenai masalah keamanan, teknik, koordinasi kegiatan Palestina dan Israel di wilayah-wilayah pendudukan Israel.

        Namun, perundingan tersebut tidak membahas masalah politik penting sepeti penempatan kembali militer Israel dari Al-Khalil atau persyaratan bagi penyelesaian perdamaian yang langgeng.

        Israel menginstruksikan para pejabatnya untuk melanjutkan perundingan dengan Palestina karena kehawatir berlarutnya penundaan perundingan akan menyulut kemarahan rakyat Palestina.

        Rakyat Palestina khawatir terhadap kemenangan Netanyahu atas Shimon Peres dari Partai Buruh dalam pemilihan umum bulan Mei akan menghambat kemajuan proses perdamaian, jika tidak membunuhnya sama sekali.

        Tetapi, “i’tikad baik” Tel Aviv itu pupus ketika Menteri Pertahanan Israel Yitzhak Mordechai mengumumkan bahwa pemerintah akan segera menempatkan 300 rumah mobil guna memperluas permukiman Yahudi yang ada di wilayah pendudukan.

        Hal itu merupakan tindakan nyata pertama pemerintah paling kanan Israel yang dipimpin Netanyahu sejak ia mengumumkan akan membatalkan pembekuan permukiman Yahudi yang diberlakukan pemerintah Partai Buruh.

        Meskipun pihak Palestina telah berkali-kali berteriak bahwa pembangunan permukiman Yahudi akan membunuh proses perdamaian, Netanyahu tak perduli dan menyatakan persetujuan perdamaian Israel dengan Palestina tidak melarang pembangunan permukiman di wilayah pendudukan.

        Menurut Pemimpin Partai Likud itu, Persetujuan Oslo tak ada pembatasan pembangunan permukiman selama masa transisi, dan kenyataannya “pembangunan permukiman berjalan terus selama pemerintahan Partai Buruh”.

        Netanyahu bermaksud membangunan permukiman baru di sepanjang jalan dan bukan di perbukitan agar dapat berhubungan dengan permukiman yang sudah ada.

        Mulanya Netanyahu merencanakan untuk menambah 50.000 pemukim baru, lebih seperempat dari 140.000 pemukim yang saat ini tinggal di Tepi Barat dan Jalur Gaza, dengan menyediakan tambahan 1.500 bangunan.

        Sebanyak 7.000 rumah dilaporkan direncanakan dibangun di sekitar Jerusalem.

        Kemacetan perdamaian

        Belum lagi masalah pembangunan permukiman baru reda, Netanyahu menambah luas pesimisme di kalangan kelompok sayap kiri Israel dan rakyat Palestina, yang memang sudah khawatir, mengenai akan macetnya proses perdamaian dengan tidak menghadiri peringatan di Laut Galilee.

        Mahmoud Abbas, yang juga dikenal sebagai Abu Mazen, menyayangkan bahwa sebagian tokoh Partai Likud tidak memandang Persetujuan Oslo sebagai persetujuan mereka, padahal persetujuan itu ditandatangani dengan pemerintah Israel.

        Meskipun telah menyatakan “terikat komitmen” dengan persetujuan yang ditandatangani pemerintah terdahulu, Netanyahu membuat gusar dunia Arab karena menentang penyerahan wilayah Arab yang diduduki Israel sebagai imbalan perdamaian, kunci bagi proses perdamaian.

        Penerapan persetujuan perdamaian PLO-Israel, berupa penyerahan wilayah di Tepi Barat –kecuali Al-Khalil– dan Jalur Gaza sedang berjalan ketika dibekukan ketika terjadi serangkaian serangan bom bunuh diri terhadap Israel oleh kelompok garis keras Palestina.

        Peres, salah seorang arsitek perdamaian Oslo, menyatakan: “Apa yang telah dicapai telah dicapai. Apa yang masih dalam agenda lah yang menjadi masalah sekarang.”

        Namun, Peres bersikap luwes dan tidak secara langsung mengecam Netanyahu. Ia menyatakan, “Cara pendekatan Netanyahu berbeda dengan caranya”.

        Menurut Peres, Netanyahu baru akan bertemu dengan Arafat –kejadian yang didesak Palestina, tapi dihindari Netanyahu– jika masalah keamanan Israel memaksanya.

        Sementara itu, Presiden Palestina Yasser Arafat khawatir jika proses perdamaian terhenti, keadaan akan sangat sangat berbahaya dan akan menimbulkan kesan buruk buat mereka semua, para pelaku perdamaian.

        PLO berharap persetujuan perdamaian akan membuat rujuk rakyat Palestina dan Israel serta mengakhiri pertumpahan darah dan memadamkan ketegangan di wilayah tersebut.

        Namun, harapan itu tampaknya belum membersitkan cahaya karena pemerintah paling sayap kanan Israel, selain mendirikan penghalang, malah mulai menanam ranjau yang sewaktu-waktu dapat meledak. (20/08/96 21:27)

 

       Oleh Chaidar Abdullah

        Jakarta, 21/8/96 (ANTARA) – Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menghadapi ujian pertama di Al-Khalil, kota kecil yang memiliki nilai cukup penting setelah Jerusalem dan menjadi batu sandungan dalam penerapan Persetujuan Oslo antara Palestina dan bekas pemerintah Partai Buruh.

        Israel tanggal 20 Agustus 1996 menyatakan, negara itu takkan memindahkan pasukannya dari Al-Khalil di Tepi Barat Sungai Jordan sebelum Pemerintah Otonomi Palestina menutup kantor-kantornya di Jerusalem.

        Berdasarkan persetujuan otonomi tahun 1995, Israel –di bawah pemerintah Partai Buruh– setuju untuk memindahkan pasukan dari empat per lima bagian kota kecil tempat makam para Nabi itu sebelum akhir bulan Maret, dan menyisakan sebagian kecil tentaranya untuk menjaga keamanan sebanyak 450 orang Yahudi di kota tersebut.

        Namun, bekas pemerintah Partai Buruh menangguhkan pemindahan itu setelah terjadinya serangkaian pemboman bunuh diri oleh kelompok garis keras Palestina di Israel, dan Netanyahu –pengganti bekas perdana menteri Shimon Peres– makin menunda tindakan tersebut.

        Bulan Februari 1994 seorang pengikut aliran ekstrim Kahane, Dr Baruch Goldstein, membantai lebih 50 orang Palestina yang sedang shalat Subuh –kejadian yang mengguncang proses perdamaian saat itu dan menjadikan Al-Khalil sebagai batu sandungan bagi pemindahan tentara Israel dari 80 persen kota tersebut.

        Israel bersikeras mempertahankan kehadiran tentaranya untuk melindungi 450 orang Yahudi, yang dipersenjatai pemerintah, di tengah 120.000 orang Palestina.

        Sekarang, menurut AFP, Netanyahu pertengahan bulan Agustus 1996 memperingatkan bahwa penyelesaian masalah Al-Khalil dengan Palestina harus “menjamin keselamatan pemukim Yahudi” di kota tersebut.

        Ada dua masalah berkaitan dengan Al-Khalil, menurut Netanyahu. Pertama, pemerintah Israel harus menerapkan persetujuan, yang belakangan disebutnya “bukan persetujuan kami”, dengan Palestina. Kedua, katanya, ia memahami betapa rumitnya masalah keamanan di Al-Khalil.

        Pencapaian persetujuan yang “tak stabil dan tidak menjamin keamanan (pemukim Yahudi) dapat mengakibatkan tragedi yang bukan hanya akan melanda keselamatan orang Yahudi dan Arab di Al-Khalil”, tapi juga dapat merusak proses perdamaian.

        Ajukan syarat

        “Guna melaksanakan komitmennya”, Menteri Pertahanan Israel Yotzhak Mordechai mengajukan usul yang bernada sebagai “syarat” bagi penempatan kembali militer Israel dari Al-Khalil.

        Mordechai “mengajukan usul” bahwa militer Israel akan tetap beroperasi di daerah permukiman Palestina dan mempertahankan kekuasaan atas keamanan di daerah permukiman campuran Palestina-Yahudi.

        Menteri Perhubungan Israel Limor Livnat dilaporkan memiliki pendapat lebih keras dibandingkan Mordechai; militer seharusnya tidak dipindahkan dari Al-Khalil.

        Ia bahkan mengancam akan memveto jika pemerintah paling sayap kanan Israel melanjutkan kebijakan pemerintah terdahulu.

        Sementara itu pihak Palestina menyampaikan reaksi keras terhadap rencana Mordechai, dan menyatakan “usul tersebut” tidak sesuai dengan Persetujuan Oslo, yang ditandangani bulan September 1993 di Washington.

        Palestina menuduh pemerintah garis keras Israel bermaksud menghancurkan proses perdamaian.

        Di Kairo, Reuter memberitakan PLO juga menampik dikaitkannya masalah pemindahan tentara Israel dari Al-Khalil dengan penghentian kegiatan PLO di Jerusalem Timur, yang direbut Israel tahun 1967 dan kemudian dicaploknya.

        Israel juga tak mau berkompromi mengenai masalah Jerusalem, yang dianggapnya sebagai ibukota utuh Israel sementara Palestina mengingini kota suci tiga agama langit itu sebagai ibukota negara mendatang Palestina.

        Sekretaris Komite Eksekutif PLO Mahmoud Abbas, yang juga dikenal sebagai Abu Mazen, menuduh Israel membuat keadaan jadi mundur.

        Pemimpin Palestina Yasser Arafat dilaporkan dari Jalur Gaza mendesak Israel agar mundur dari Al-Khalil karena konsekuensi yang timbul akibat tak-dihormatinya apa yang telah disepakati akan sangat buruk, baik bagi orang Yahudi maupun Palestina.

        Arafat menyatakan, pihaknya menerima penundaan tanggal 12 Juni karena masa kampanye bagi pemilihan umum di Israel, tapi sampai sekarang tak pernah ada pemindahan tentara Israel.

        Ia mempertanyakan, mengapa Israel menunda pemindahan tersebut?

        Pada saat yang sama pemukim Yahudi diberitakan mengancam akan melakukan pemogokan dan pembangkangan kalau Tel Aviv tidak mencabut rencana untuk memindahkan tentara dari Al-Khalil.

        Mereka menghendaki kota tersebut tempat makam Nabi Ibrahim A.S., cikal bakal bangsa Yahudi dan Palestina, tetap berada dalam kekuasaan tunggal Israel.

        Rumitnya masalah pemindahan tentara dari Al-Khalil, menurut seorang tokoh partai sayap kanan-tengah Yahudi, dapat menghancurkan koalisi pemerintah Israel saat ini.

        Ia menuntut Netanyahu, agar berpegang pada persetujuan yang mereka capai sebelum pemilihan umum dengan pemimpin Partai Likud itu, dan mengancam akan menarik Partai Tsomet-nya jika Netanyahu memindahkan tentara dari Al-Khalil.

        Al-Khalil, tempat makam para nabi, menyimpan kenangan pahit bagi rakyat Palestina dan Yahudi dan menjadi ujian pertama bagi komitmen Netanyahu guna merintis jalan menuju perdamaian dengan Palestina. (21/8/96 21:14)

       Oleh Chaidar Abdullah

        Jakarta, 28/8/96 (ANTARA) – Demi kelangsungan proses perdamaian, Palestina hari Senin (26/8) berusaha melucuti Perdana Menteri sayap kanan Israel Benjamin Netanyahu dari segala macam alasan untuk menghambat proses perdamaian Timur Tengah dengan menutup dua kantornya di Jerusalem.

        Namun, sehari kemudian kemarahan seluruh rakyat Palestina meledak ketika pemerintah Israel mensahkan permukiman baru Yahudi di Tepi Barat Sungai Jordan dan menghancurkan satu bangunan Palestina di Jerusalem Timur.

        Pemerintah berhaluan paling kanan Israel tersebut melakukan tindakan yang dipandang paling berani untuk mengembangkan permukiman Yahudi di Tepi Barat dengan mengumumkan pembangunan 1.800 rumah baru buat orang Yahudi Ortodoks.

        Alasan yang dikemukakan pemerintah Israel ialah perluasan permukiman itu telah disetujui pemerintah terdahulu tapi kemudian dibekukan.

        Jadi sekarang, menurut pemerintah Yahudi tersebut, Israel “hanya melanjutkan kebijakan pemerintah lama”, meskipun Arafat menyatakan bahwa Israel telah “menabuh genderang perang di Tepi Barat”.

        Jurubicara pemerintah Israel, Moshe Fogel, sebagaimana dilaporkan AFP menyatakan, keputusan itu diambil sejalan dengan “konteks pertumbuhan alamiah permukiman yang ada dan terletak di dekat jalur hijau yang memisahkan Tepi Barat dengan Israel.

        Permukiman baru tersebut terletak di dekat Kiryat Sefer di dekat Ramallah, Tepi Barat.

        Saat ini sebanyak 140.000 orang Yahudi menetap di sebanyak 150 permukiman di seluruh Tepi Barat dan Jalur Gaza.

        Awal bulan Agustus, Menteri Pertahanan Israel Yitzhak Mordechai mensahkan penempatan 300 rumah bergerak di Tepi Barat, tapi “hanya akan digunakan sebagai ruang klas dan kantor administrasi”.

        Perluasan permukiman Yahudi telah menghantui Pemerintah Otonomi Palestina sejak Benjamin Netanyahu terpilih menjadi Perdana Menteri Israel bulan Mei 1996.

        Namun, masalah belum usai bagi Pemerintah Otonomi, sebab hari Selasa Israel juga menghancurkan bangunan yang dilaporkan dimaksudkan untuk melayani rakyat Palestina di Jerusalem dan tidak menimbulkan ancaman apapun terhadap rakyat Israel.

        Penghancuran itu dianggap oleh anggota parlemen Palestina sebagai tanda kebijakan lebih keras Israel terhadap 165.000 orang Arab yang tinggal di wilayah Palestina, yang direbut Israel dalam perang tahun 1967 tersebut.

        Arafat bahkan menuduh Israel ingin “me-Yahudi-kan” Jerusalem, kota suci tiga agama langit –Yahudi, Nasrani dan Islam.

        Namun, pemerintah Israel berkilah, bangunan tersebut tidak memiliki izin dan tidak dihuni, dan polisi Israel menyatakan bangunan itu didanai oleh Pemerintah Otonomi untuk digunakan sebagai perkumpulan sosial.

        Tarik Netanyahu

        Sebelum Israel melakukan dua tindakan tersebut, Arafat –dengan kemampuannya sebagai operator politik piawai– dianggap berhasil menarik Netanyahu ke dalam proses perdamaian.

        Dengan kombinasi konsesi simbolisnya dan seruan langsung kepada masyarakat Israel agar membantu menghidupkan kembali proses perdamaian, maka Pemimpin Palestina itu mampu membuat Netanyahu untuk pertama kali menyetujui pertemuan denganya, kendati tak ada tanggal yang ditetapkan.

        Arafat hari Ahad (25/8) menutup tiga kantor Palestina di Jerusalem, tuntutan Netanyahu bagi dilanjutkannya perundingan politik dan penempatan kembali militer Israel dari Al-Khalil.

        Tindakan Arafat dipandang sebagai upaya untuk menghilangkan penghalang utama bagi perundingan penuhnya dengan Israel.

        Proses perdamaian Palestina-Israel dijadwalkan mencakup penerapan akhir persetujuan sementara tahun 1995, yang menghasilkan kekuasaan otonomi Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza, serta pembukaan jalan menuju apa yang disebut pembicaraan “status akhir” mengenai penyelesaian perdamaian permanen.

        Setelah berulangkali menahan keputusan mengenai cara melanjutkan proses perdamaian yang ditentangnya sewaktu ia menjadi pemimpin oposisi, Netanyahu “terpojok dan tidak mempunyai pilihan lain” kecuali menyetujui pertemuan dengan Arafat.

        Presiden Israel Ezer Weizman menyatakan, akan mengundang Arafat ke kediamannya, kejadian yang dipandang sebagai konsesi pertama Israel, setelah Arafat menyampaikan surat peringatan bahwa kebuntuan proses perdamaian mengancam berkobarnya kerusuhan di wilayah- wilayah pendudukan Israel.

        Televisi Israel, sebagaimana dikutip AFP, melaporkan bahwa Menteri Pertahanan Israel akan bertemu dengan Arafat dalam waktu 10 hari kemudian diikuti oleh pertemuan Arafat- Netanyahu paling lambat 10 September.

        Namun, Perdana Menteri Israel tersebut membantah bahwa tanggal pertemuannya dengan Arafat telah ditetapkan.

        Netanyahu kelihatannya juga mendapat tekanan dari luar, terutama peringatan dari Presiden Mesir Hosni Mubarak bahwa ia akan membatalkan pertemuan tingkat tinggi ekonomi regional jika proses perdamaian tidak mengalami kemajuan.

        Akan tetapi, belum lagi pertemuan Arafat-Netanyahu terlaksana, pemimpin Israel itu kembali mengobarkan amarah rakyat Palestina dengan mensahkan perluasan permukiman Yahudi di Tepi Barat. Padahal, Suriah dan Iran memandang tindakan itu sebagai upaya untuk menghidupkan kembali gagasan “Israel Raya”.

        Netanyahu bahkan kelihatan tak perduli, meskipun Palestina seringkali menudingnya tidak terikat komitmen untuk mewujudkan perdamaian.

        Bukan hanya itu, Netanyahu juga dianggap menebar ranjau di jalan ke arah perdamaian dengan melanjutkan perluasan permukiman Yahudi, penyerobotan lahan dan pembangunan jalan raya di wilayah-wilayah pendudukan. (28/8/96 22:11)

       Oleh Chaidar Abdullah

        Jakarta, 4/9/96 (ANTARA) – Presiden Palestina Yasser Arafat akhirnya menang dalam “perjudiannya” setelah hari Rabu (4/9) Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang sama sekali tak menyebut nama Arafat dalam pidato peresmiannya, setuju bertemu dengan pemimpin Palestina tersebut.

        Kedua pemimpin bangsa yang memiliki satu induk generasi, Nabi Ibrahim A.S., itu dilaporkan kantor berita Reuter, AFP dan UPI bertemu hari Rabu pukul 05:30 waktu setempat (21:30 WIB).

        Sebelumnya, pemimpin pemerintah paling kanan Israel tersebut selalu menghindari pertemuan dengan Arafat, yang dicapnya sebagai penjahat perang, kendati berbagai pihak yang terlibat dalam proses perdamaian Timur Tengah berulangkali menyerunya agar mau melanjutkan perundingan.

        Perundingan Palestina-Israel terhenti sebelum pemilihan umum Israel bulan Mei 1996, tapi sejak mengalahkan arsitek perdamaian Shimon Peres, dari Partai Buruh, Netanyahu belum memperlihatkan tanda akan menghidupkan kembali proses itu.

        Netanyahu bulan lalu bahkan membuat berang Arafat karena ia mensahkan pembangunan permukiman baru Yahudi di Tepi Barat dan menghancurkan bangunan PLO yang dituduhnya digunakan oleh Pemerintah Otonomi Palestina di Jerusalem.

        Arafat telah mengalah dengan menutup dua kantor lain PLO di wilayah yang statusnya belum diputuskan tersebut. Israel berkeras bahwa Jerusalem adalah ibukota utuh negara Yahudi dan Palestina berkeras menghendaki Jerusalem Timur sebagai ibukota negara mendatang Palestina.

        “Kemenangan” Arafat mulai terlihat akhir bulan Juli tahun ini, ketika Israel –yang menghadapi ancaman protes massal rakyat Palestina– setuju melanjutkan perundingan politik penuh dengan Pemerintah Otonomi Palestina.

        Pada pertemuan yang diadakan secara tergesa-gesa selama pemogokan umum di wilayah-wilayah Palestina, para perunding Palestina dan Israel dilaporkan mengumumkan bahwa perundingan untuk melanjutkan persetujuan perdamaian antara kedua “saudara misan” itu dapat dilanjutkan satu pekan kemudian.

        Kegiatan mendadak tersebut dilakukan setelah Arafat menyeru kepada rakyat Palestina, agar melakukan protes massal pertama di wilayah-wilayah Palestina sejak terbentuknya Pemerintah Otonomi tahun 1994.

        Arafat menuduh Pemerintah Netanyahu “mengumandangkan genderang perang” terhadap Palestina karena menolak untuk melanjutkan proses perdamaian, yang dimulai dengan pemerintah terdahulu di bawah Partai Buruh, memperluas permukiman Yahudi di wilayah pendudukan dan menyerang lembaga Palestina di Jerusalem Timur.

        Arafat akhir Juli menyeru rakyat Palestina agar melakukan pemogokan umum empat jam dan menentang larangan bepergian oleh Israel untuk berziarah ke tempat suci Masjid Al-Aqsha di Jerusalem Timur.

        Seruan Arafat itu mendapat dukungan luas, terutama karena rakyat Palestina tampaknya sangat kecewa dengan macetnya proses perdamaian dan penutupan tujuh bulan oleh militer terhadap wilayah Palestina.

        Namun, sebelum ketegangan meletus jadi kerusuhan, Netanyahu berusaha meredakannya dengan mengumumkan pertemuan pertama antara bekas kepala staf militer Israel dan timpalannya dari Palestina Saeb Erakat.

        Jadi kunci

        Kini, setelah menghadapi tekanan yang terus meningkat dari Palestina, pemerintah-pemerintah Arab dan Amerika Serikat –yang bersama Rusia menjadi penaja proses perdamaian Timur Tengah, Netanyahu tampaknya tak dapat mengelak lagi dari pertemuan dengan Arafat.

        Tekanan sangat kuat atas Netanyahu tampaknya juga datang dari Mesir, ketika Presiden Hosni Mubarak tanggal 22 Agustus 1996 mengancam akan membatalkan konferensi ekonomi Timur Tengah jika Israel menghambat proses perdamaian.

        Pertemuan puncak antara Arafat dan Netanyahu dipandang sebagai kunci untuk menembus kebuntuan yang telah mencengkeram proses perdamaian sejak Netanyahu terpilih dengan rencana antara lain untuk memperluas permukiman Yahudi dan menangguhkan penarikan militer Israel dari Al-Khalil.

        Penarikan militer Israel dari 80 persen wilayah Al-Khalil, yang telah berbulan-bulan dianggap sebagai ujian bagi komitmen Netanyahu terhadap proses perdamaian.

        Palestina dan Israel selama dua pekan belakangan ini dilaporkan telah melakukan pembicaraan rahasia guna mengatur pertemuan Arafat-Netanyahu dan kelanjutan perundingan penuh antara kedua pihak itu.

        Banyak pejabat Palestina beberapa kali menyatakan, pembicaraan rahasia tersebut berada di ambang keberhasilan, tapi masalah selalu muncul pada saat-saat terakhir.

        Persetujuan bagi pertemuan kedua pemimpin itu tampaknya dicapai antara kedua pihak tersebut Rabu pagi melalui penengahan utusan khusus PBB untuk wilayah Palesitna, Terje Larsen.

        Larsen melakukan misi ulang-alik antara kedua pihak itu Rabu (4/9) pagi guna menghilangkan serangkaian “perintang”.

        Pihak Palestina tetap mendesak Israel agar secara terbuka mengumumkan komitmennya, tanpa syarat, terhadap proses perdamaian.

        Sebelum pemilihan umum Israel, Netanyahu adalah pengecam keras persetujuan Oslo tahun 1993 dan sampai terpilih sebagai perdana menteri Israel, ia menyatakan “hanya akan berunding dengan Arafat jika masalah keamanan Israel memaksanya”.

        Netanyahu juga ingin merundingkan kembali perincian rencana penarikan militer Israel dari Al-Khalil, tapi Palestina tak bersedia menerimanya.

        Kini, setelah melalui jalan berliku yang sulit dilalui, Arafat berhasil “menarik” pemimpin pemerintah paling kanan Israel tersebut ke meja perundingan.

        Dengan demikian, Arafat kelihatannya masih memiliki peluang untuk menyelamatkan proses perdamaian, yang telah terancam akan hancur berkeping-keping akibat sikap tak kenal kompromi Netanyahu. (4/09/96 22:494)

 

 Oleh Chaidar Abdullah

        Jakarta, 11/9/96 (ANTARA) – Proyek perdamaian Palestina-Israel, yang telah mengalami berbagai pasang-surut, sejak penandatanganan Deklarasi Prinsip-Prinsip di Washington 13 September 1993 terlihat masih “berjalan di tempat” dan banyak menemui “sandungan”.

        Walaupun banyak pihak menyuarakan optimisme saat deklarasi itu diterima kedua pihak tersebut, harapan rakyat Palestina masih jauh dari jangkauan, dan jurang pemisah tetap menganga lebar setelah tiga tahun berlalu.

        Presiden Palestina Yasser Arafat telah menyampaikan optimisme bagi berdirinya negara Palestina merdeka, yaitu satu harapan yang sampai sekarang sulit terwujud.

        Ketika Arafat menyampaikan harapan tersebut, Pemerintah Israel saat itu menegaskan deklarasi itu hanya akan mengesahkan Pemerintahan Administratif Palestina dan “bukan menjadi janin bagi negara Palestina merdeka”.

        Duta Besar Palestina di Jakarta Ribhi Y. Awad dalam wawancara dengan ANTARA mengakui bahwa proses perdamaian tersebut sampai sekarang belum memperlihatkan hasil nyata sebagaimana harapan Arafat selaku Pemimpin PLO.

        Pihak Palestina, yang dalam perundingan dengan Israel berada pada posisi lemah, telah memperlihatkan itikad baiknya bagi perdamaian dengan mencela terorisme, dan bahkan mencabut klausul yang menentang kehadiran negara Yahudi dari Piagamnya.

        Namun, posisinya yang lemah membuat pihak Palestina seringkali didikte oleh Israel. Kelemahan pihak Palestina ialah pihaknya tidak dapat menawarkan apa-apa sebagai imbalan perdamaiannya dengan negara Yahudi.

        Selama Pemerintahan Israel dipegang Perdana Menteri Yitzhak Rabin (kini almarhum), pihak Palestina seringkali ditekan untuk mengekang kelompok-kelompok garis keras Palestina yang menentang perdamaian dengan Israel setiap kali terjadi serangan bunuh diri terhadap orang Yahudi.

        Meskipun demikian, Ribhi Awad mengakui pula bahwa sejak penandatanganan Deklarasi Prinsip-Prinsip di Washington pada tiga tahun lalu, hubungan Palestina dan Israel “memasuki era baru”.

        Sebelum penandatangan, katanya, sikap dan perilaku semua bangsa Palestina, termasuk Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), berbeda dengan setelah penandatanganan.

        “Penandatanganan Deklarasi Prinsip-Prinsip di Washington menjadi tonggak sejarah bagi era baru,” katanya.

        Maksudnya, sejak saat itu Palestina dan Israel memasuki “era perdamaian” karena sebelumnya rakyat Palestina memilih jalur perjuangan bersenjata, terutama “intifada” guna menentang pendudukan Israel.

        Sekarang ini rakyat Palestina menghentikan dan meninggalkan pilihan penggunaan militer itu, dan PLO, serta Israel juga saling mengakui keberadaan masing-masing.

        Perlu bukti

        Akan tetapi, era baru bagi Paletina tampaknya takkan berarti apa-apa, jika yang terjadi hanya perundingan dan pembicaraan tanpa bukti nyata di lapangan.

        Menurut Ribhi Awad, pada kenyataannya rakyat Palestina belum memperoleh kemerdekaan hakiki, sesuatu yang sangat didambakan oleh semua bangsa, dan bukan hanya rakyat Palestina.

        Rakyat Palestina hingga kini masih sering diperlakukan sewenang-wenang oleh militer Yahudi, apalagi jika terjadi serangan bom terhadap warga Yahudi di dalam wilayah Israel. Penguasa Tel Aviv tak sungkan-sungkan “mengacak-acak” permukiman Palestina untuk mencari pelaku serangan.

        Selain itu, penguasa Yahudi juga dengan “enteng” menutup wilayah-wilayah pendudukan dan melarang orang Palestina dari Tepi Barat, serta Jalur Gaza untuk bekerja di Israel, seperti yang terjadi saat ini.

        Kendati Israel telah meredakan penutupan wilayah, ribuan orang Palestina tetap tak bekerja di Israel dan Pemerintah Otonomi Palestina, yang dipimpin Yasser Arafat, menderita kerugian juta dolar AS per hari.

        Israel, sejak merdeka 14 Mei 1948, dikenal sebagai negara yang berdiri melalui pembersihan etnis dan tak segan-segan bertindak keras terhadap rakyat Palestina.

        Ribhi Awad juga mempertanyakan ketulusan Pemerintah Israel untuk mencapai perdamaian dengan Palestina, karena sampai sekarang ratusan orang Palestina masih dipenjarakan oleh Israel.

        Selain itu, nasib empat juta pengungsi Palestina tetap tak menentu, masa depan Jerusalem belum diselesaikan, masa depan rakyat Palestina masih tak pasti dan pembagian air tetap menjadi masalah.

        Semua itu, kata Dubes Palestina di Jakarta tersebut, adalah “pekerjaan rumah” yang masih harus ditangani di saat proses perdamaian mulai memasuki tahun keempat.

        Berdasarkan Deklarasi Prinsip-Prinsip, status Jerusalem dibahas pada tahun ketiga penerapan persetujuan itu.

        Namun, pada masa pemerintahan Rabin, Israel menyerahkan Masjid Al-Quds kepada “peran sejarah” Jordania.

        Ancaman Arafat

        Karena menghadapi tersendat-sendatnya proses perdamaian dengan Israel, apalagi sejak Benjamin Netanyahu menjadi Perdana Menteri Israel bulan Mei 1996, Arafat mengancam akan memproklamasikan negara Palestina merdeka dengan Jerusalem Timur sebagai ibukota.

        Hal itu, menurut Arafat, akan dilakukan jika Israel tak mau melanjutkan pembicaraan mengenai persetujuan perdamaian akhir.

        Pejabat PLO Faisal Al-Husseini awal bulan September tahun ini mengisyaratkan terjadinya ketegangan baru dalam hubungan Palestina-Israel, karena proses perdamaian kedua pihak tersebut tak pernah mendekati perundingan mengenai penyelesaian akhir.

        Arafat, menurut Reuter, memperingatkan Israel bahwa rakyat Palestina memiliki beberapa pilihan lain kalau negara Yahudi tidak menghormati persetujuannya dengan PLO.

        Sejak kampanye pemilihan umum Israel awal tahun ini, Netanyahu membuat prihatin masyarakat internasional, bukan hanya Pemerintah Otonomi dan rakyat Palestina.

        Netanyahu melontarkan kebijakan tak kenal kompromi mengenai proses perdamaian dengan Palestina.

        Pemimpin Partai Likud itu menyatakan, takkan ada negara Palestina, takkan merundingkan Jerusalem Timur dan akan memperluas permukiman Yahudi di wilayah pendudukan.

        Israel tetap menganggap Jerusalem sebagai ibukota utuh negara Yahudi, sementara itu Palestina mengingini Jerusalem Timur sebagai ibukota “negara Palestina merdeka”.

        Beberapa pejabat PLO juga dilaporkan telah memperingatkan bahwa “perang akan berkecamuk kembali” kalau pemerintah sayap kanan Israel meninggalkan proses perdamaian.

        Salah satu pilihan, kata Arafat, adalah kemungkinan dihidupkannya kembali “intifada” enam tahun Palestina, yang dimulai tahun 1987.

        “Intifada” adalah sebutan bagi para gerilyawan pejuang Palestina yang salah satu ciri khasnya adalah menggunakan lemparan batu sebagai senjata menghadapi Israel.

        Netanyahu setelah mendapat tekanan dari berbagai pihak, akhirnya tanggal 4 September 1996 bersedia bertemu dengan Arafat, orang yang selalu dicapnya sebagai “teroris”.

        Namun, ketika menanggapi pertemuan kedua pemimpin tersebut, Ribhi Awad menyatakan. “Yang terpenting adalah apa yang dihasilkan dan bukan sekadar jabatan tangan.” (11/09/96 20:22)

Oleh Chaidar Abdullah

        Jakarta, 28/9/96 (ANTARA) – Kekhawatiran rakyat Palestina bahwa proses perdamaian dengan Israel akan terhambat saat Benjamin Netanyahu, pemimpin Partai Likud yang mengalahkan Shimon Peres dalam pemilihan umum akhir Mei, mulai menjadi kenyataan saat Israel pada Selasa (24/9/96) mengizinkan dilanjutkannya penggalian terowongan di Jerusalem.

        Akibat pemberian izin “untuk menggali peninggalan arkeologi berusia 2.500 tahun” di bawah kompleks masjid Al-Aqsha oleh Yahudi, pertempuran meletus antara tentara Israel dan rakyat Palestina dan bahkan melibatkan polisi Pemerintah Otonomi.

        Sampai Jumat, 58 orang Palestina dan 13 Yahudi dilaporkan Reuter dan AFP tewas dalam bentrokan di seluruh Jalur Gaza dan Tepi Barat Sungai Jordan.

        Sebelumnya pemerintah paling kanan Israel di bawah Netanyahu telah membuat “kalang kabut” Pemerintah Otonomi Palestina ketika penguasa Yahudi mengizinkan pembangunan permukiman baru di wilayah-wilayah Palestina.

        Rakyat Palestina telah menghadapi masalah dengan adanya permukiman di wilayah mereka, dan kejadian pada Februari 1994, ketika pengikut aliran ekstrim Kach, Baluch Goldstein, membantai tidak kurang dari 60 orang Palestina yang sedang shalat subuh, tak dapat mereka lupakan.

        Sekarang setelah sekitar 100 hari Netanyahu berkuasa, negara-negara Arab berpendapat pemimpin garis keras Israel tersebut telah membuat Timur Tengah mundur bertahun-tahun.

        Netanyahu telah membuat gusar para pemimpin Arab, membuat rakyat Palestina kecewa dan habis kesabaran serta memicu munculnya kembali kata-kata “perang” dalam diri rakyat Palestina.

        Sejalan dengan segala tindakan Netanyahu, yang sejak kampanye pemilihan umum Israel telah mengumandangkan nada tak kenal kompromi sehubungan dengan proses perdamaian, sirna pula “itikad baik” yang telah dibina para pendahulunya.

        Perdana menteri terbunuh Yitzhak Rabin, dan penggantinya Shimon Peres dari Partai Buruh telah berusaha mewujudkan perdamaian dengan Palestina dan pihak Arab lain.

        Tetapi Netanyahu memporakporandakan semua itu, walaupun Duta Besar Palestina di Jakarta Ribhi Y. Awad mengatakan belum lama ini, “Partai Likud dan Buruh sama saja.”

        Keduanya sama-sama pernah bertindak keras terhadap rakyat Palestina, meskipun belakangan Partai Buruh “lebih memperlihatkan sikap luwes dibandingkan dengan Likud”.

        Akibat ulah pemimpin Yahudi itu, negara-negara Arab bersikap lebih hati-hati dan tak mau tergesa-gesa menerima kehadiran Netanyahu di negara mereka atau membuka misi di Israel.

        Presiden Mesir Hosni Mubarak pernah mengancam akan membatalkan konferensi ekonomi Timur Tengah jika proses perdamaian Palestina-Israel tetap macet.

        Proses perdamaian tersebut mestinya telah memasuki tahap pembicaraan status akhir Jerusalem tapi pelaksanaan tahap kedua, penempatan kembali militer Israel dari Al- Khalil, tak kunjung tercapai.

        Harapan pun pudar

        Dengan terjadinya bentrokan paling sengit sejak penandatanganan persetujuan otonomi di Washington September 1993 proses perdamaian Palestina-Israel benar- benar mengalami kemunduran dan harapan pun pudar.

        Segala harapan bagi terwujudnya perdamaian Arab-Israel telah berubah menjadi kekhawatiran lama mengenai perang Timur Tengah dan penindasan bergelimang darah atas para pemrotes Palestina oleh militer Israel.

        Kejadian tersebut, kendati banyak pemimpin dunia termasuk AS mendesak dilanjutkan proses perdamaian, mencuatkan tanda tanya apakah proses perdamaian Arab- Israel masih hidup.

        Masalahnya ialah apa yang diajukan Netanyahu sejak ia berkuasa di Israel jelas tidak sesuai dengan apa yang diajukan pemerintah terdahulu Israel.

        Palestina memandang pembukaan jalan masuk kedua ke terowongan di bawah kompleks masjid Al-Aqsha sebagai lambang pendekatan Netanyahu kepada perundingan dengan pihak Arab.

        Pemerintah terdahulu Israel dari Partai Buruh mengabulkan tuntutan Arab agar Israel menutup pembuatan terowongan itu, yang dimaksudkan untuk menemukan Temple Mount –tempat suci Yahudi sekitar 2.000 tahun lalu tapi selama 1.300 tahun terakhir ini menjadi tempat berdirinya masjid Al-Aqsha.

        Terowongan tersebut dipandang dunia Arab sebagai pengetatan cengkeraman Israel atas Jerusalem Timur, yang direbut Israel dalam perang 1967.

        Terowongan itu juga dianggap sebagai picu atas bertumpuk-tumpuk kekecewaan rakyat Palestina terhadap Netanyahu.

        Pihak Palestina sejak 1991 meninggalkan intifada dan bergabung dalam proses perdamaian yang ditaja AS dan bekas Uni Sovyet.

        Walaupun sampai sekarang tak banyak yang diperolehnya, pihak Palestina tetap memiliki harapan bahwa proses tersebut akan berakhir dengan berdirinya negara Palestina merdeka dengan Jerusalem Timur sebagai ibukota.

        Harapan itu sebenarnya sulit, jika tak dapat dikatakan tak mungkin, terwujud karena Netanyahu antara lain sudah menegaskan ia menentang berdirinya negara Palestina, takkan berkompromi soal Jerusalem.

        Israel, baik di bawah Partai Likud atau Partai Buruh, tetap menganggap Jerusalem sebagai ibukota utuh negara Yahudi.

        Pihak Palestina telah berulangkali memperingatkan macetnya proses perdamaian dapat berarti terulangnya kerusuhan dan kembalinya intifada ke wilayah-wilayah pendudukan.

        Namun Israel tampak tak menggubris, dan tindakan pemerintah Netanyahu membuka kembali penggalian terowongan di Jerusalem telah merenggut korban jiwa baik di pihak Palestina maupun di pihak Israel sendiri.

        Pemerintah Netanyahu bahkan tampaknya tidak peduli dengan seruan masyarakat dunia agar meredakan kerusuhan, dan tudingan Putra Mahkota Jordania Hassan ibn Talal bahwa Israel melanggar kesucian Kota Suci Jerusalem dengan melakukan perluasan terowongan di sepanjang tembok barat Al-Aqsha.

(28/09/96 10:12)

 

 

       Oleh Chaidar Abdullah

        Jakarta, 2/10 (ANTARA) – Para pemimpin Palestina, Jordania, Israel dan AS boleh-boleh saja bertemu guna mengakhiri pertumpahan darah di wilayah otonomi Palestina, tapi harapan bagi tercapainya terobosan tampaknya tipis.

        Duta Besar Palestina di Jakarta Ribhi Y. Awad, ketika mengomentari konferensi tingkat tinggi di Washington, menyatakan kecewa dan sedih dengan sikap AS karena Washington tak mau memberi suara bagi resolusi Dewan Keamanan PBB.

        Konferensi tingkat tinggi antara Presiden Palestina Yasser Arafat, Raja Jordania Hussein, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dengan Presiden AS Bill Clinton sebagai tuan rumah diadakan hari Selasa dan Rabu di Washington.

        Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan resolusi untuk meminta Israel menutup kembali terowongan yang dibuka pemerintah sayap kanan Israel akhir September.

        Tindakan Israel mengizinkan pembukaan penggalian terowongan di bawah kompleks masjid Al-Aqsha telah memicu kerusuhan sehingga menewaskan lebih dari 80 orang Palestina.

        Sikap AS tersebut dinilai Awad berdampak negatif bagi Amerika sendiri atas perannya sebagai penaja dan penengah “yang adil dalam proses perdamaian Timur Tengah”.

        AS harus berani menentang tindakan-tindakan Israel “jika ingin berperan sebagai polisi yang memiliki wewenang absolut di dunia”.

        Kekecewaan terhadap sikap AS tampaknya juga diperlihatkan Presiden Mesir Hosni Mubarak, yang menolak untuk menghadiri konferensi tersebut dan “hanya” mengirim Menteri Luar Negeri nya Amr Mussa.

        Seorang pejabat senior Liga Arab, sebagaimana dikutip AFP, menyatakan Mubarak “ingin menyelenggarakan pertemuan di Kairo guna mengembalikan proses perdamaian Timur Tengah ke jalurnya dan mewujudkan persetujuan dalam banyak masalah rumit”.

        Mubarak dilaporkan berpendapat konferensi di Washington hanya akan menjadi “pameran terhadap media, pesta petasan tanpa masa depan yang cerah”.

        Menurut Mubarak, jika Clinton tak mau mengambil keputusan berani, proses perdamaian dan persetujuan Oslo akan mati dan terkubur bulan November ini.

        Mubarak dilaporkan menyadari keadaan dan memahami pola berfikir Netanyahu, yang menjadi sebab ia keberatan menghadiri konferensi Washington.

        Selama tak ada komitmen, janji, kesediaan atau i’tikad baik dari pemerintah garis keras Israel, Tepi Barat dan Jalur Gaza akan menjadi ajang segala macam aksi kerusuhan bentrokan dan ketidakstabilan.

        Tak ada penyelamatan?

        Pada saat yang sama bekas perdana menteri Israel yang juga dari sayap kanan Yitzhak Shamir berpendapat ia tidak melihat “adanya proses perdamaian yang sesungguhnya”.

        Semua tuntutan Arafat, menurut dia, sama sekali bertentangan dengan sikap Netanyahu.

        Persetujuan yang dicapai Arafat dan pendahulunya, mendiang perdana menteri Yitzhak Rabin, selama tahap awal proses perdamaian “bukan lah persetujuan antar-negara”, kata Shamir sebagaimana dilaporkan AFP.

        Shamir, yang juga dari Partai Likud, menyatakan tak dapat menerima persetujuan tersebut, karena “semua itu bukan cara untuk mengatasi masalah sesungguhnya yang dihadapi bangsanya”.

        Ia juga berpendapat bukan tugas Israel untuk mendirikan negara Palestina. Di Timur Tengah ada lebih dari 20 negara merdeka, dan “jika orang Palestina ignin tinggal di satu negara Arab, silahkan saja!”, katanya.

        Namun, menurut dia, bagi rakyat Yahudi, hanya ada satu “negara liliput” tempat mereka tinggal sekarang.

        Shamir, seperti juga banyak tokoh ekstrim Yahudi, tetap menganggap wilayah Palestina yang dikangkangi Israel sejak tahun 1948 dan kemudian diperluas tahun 1967 sebagai “tanah yang dijanjikan buat umat Israel”.

        Sikap Shamir juga tampaknya tak jauh berbeda dengan Netanyahu, yang sejak kampanye pemilihan umum di Israel tahun ini, telah menyuarakan pendirian tak kenal kompromi.

        Sampai sekarang jurang pemisah masih lebar menganga antara Palestina dan Israel, “dua sepupu yang sama-sama berhulu pada Nabi Ibrahim A.S. tapi tak pernah akur”.

        Paling tidak sampai sekarang ada enam masalah yang belum disepakati antara kedua pihak tersebut.

        Pertama adalah masalah Al-Khalil. Netanyahu ingin merundingkan kembali persetujuan yang ditandatangani pendahulunya Shimon Peres dari Partai Buruh, tapi bukan penerapan –penempatan kembali tentara Israel dari kota makam para nabi itu.

        Netanyahu menghendaki “penyesuaian” persetujuan tersebut guna “meningkatkan keamanan bagi 450 orang Yahudi” di tengah 120.000 orang Palestina.

        Penempatan kembali tentara Israel dari empat per lima wilayah Al-Khalil mestinya dilaksanakan Maret tahun ini.

        Arafat menyetujui pembahasan perubahan kecil tapi pada dasarnya menolak untuk merundingkan kembali persetujuan Al-Khalil.

        Kedua ialah masalah perundingan. Netanyahu telah mengusulkan perundingan “non-stop” dengan Palestina dan pada saat yang sama menuntut bahwa perundingan tersebut diadakan “tanpa prasyarat”.

        Sementara itu, Arafat menghendaki komitmen perdana menteri Israel tersebut bagi pelaksanaan persetujuan yang telah disepakati.

        Ketiga ialah masalah Jerusalem. Sejak kampanye pemilihan umum tahun ini, Netanyahu telah menolak pembahasan masalah Jerusalem, pemulangan sebanyak empat juta pengungsi Palestina dan berdirinya negara Palestina.

        Netanyahu bahkan telah memperluas permukiman Yahudi di wilayah Jerusalem Timur, yang diingini Palestina sebagai ibukota negara Palestina merdeka.

        Keempat adalah bandar udara. Netanyahu menuduh Palestina menghentikan perundingan pekan lalu akibat pembukaan terowongan di bawah kompleks masjid Al-Aqsha.

        Namun Arafat menghendaki perundingan masalah-masalah yang belum terselesaikan dalam persetujuan otonomi, terutama pengoperasian bandar udara yang dibangun di Jalur Gaza.

        Kelima adalah terowongan. Arafat menuntut terowongan itu ditutup agar Israel dapat memperbaiki kesalahan terhadap tempat suci umat Islam di Jerusalem.

        Akan tetapi Netanyahu tak mau membahas masalah tersebut dan menganggap penutupan kembali terowongan tersebut sebagai “tindakan menyerah pada kerusuhan”.

        Keenam ialah kerusuhan. Netanyahu mengingini “penghentian total dan segera semua kerusuhan, yang menurut dia adalah “tanggung jawab polisi Palestina, yang katanya melepaskan tembakan lebih dulu”.

        Tetapi Arafat membantah tudingan tanggung jawab itu dan menyatakan militer Israel lah yang melepaskan tembakan lebih dulu”.

        Makin rusuh

        Sementara itu, AFP melaporkan bahwa rakyat Palestina telah memetik pelajaran dan tak perlu terlalu mengharapkan terobosan yang membesarkan hati.

        Amerika Serikat sendiri, yang bersama Rusia menjadi penaja proses perdamaian Timur Tengah, tampaknya tidak menaruh optimisme terhadap hasil konferensi saat ini.

        Seorang pejabat tinggi Palestina juga dilaporkan “sangat pesimistis” bahwa konferensi tersebut akan memberi hasil yang memuaskan.

        Namun kekhawatiran terbesar ialah jika konferensi Washington itu benar-benar tidak menghasilkan sesuatu yang dapat memuaskan kedua pihak dalam kerusuhan di Tepi Barat dan Jalur Gaza, kerusuhan akan bertambah sengit.

        Hosni Mubarak telah memperingatkan jika konferensi di AS tidak memberi hasil bagi rakyat Palestina, bencana akan terjadi.

        Sebelumnya telah merebak spekulasi bahwa intifada, yang dihentikan PLO tahun 1980-an, akan kembali ke daerah Palestina kalau proses perdamaian tetap macet atau bahkan tergelincir dari jalurnya. (02/10/96 17:05)



  • Tidak ada

Kategori